Rabu, 19 Maret 2014

Aku Ingin Pindah (Tentang Hidup)


         Seiring berjalannya waktu dan bertambahnya usia aku mulai mengerti apa yang namanya buku dan alat tulis. Aku menjadi sangat mengiginkan kedua hal itu.  Apalagi ketika melihat anak-anak yang sudah memakai seragam sekolah aku semakin iri. Mereka kenapa sudah sekolah, sedangkan aku belum. Melihat hal itu aku tak hanya diam, aku langsung merengek meminta hal itu. Padahal pada saat itu umurku masih terlalu muda untuk memakai rok merah itu. Tapi karena melihat keseriusanku akhirnya mama dan bapak mengikutinya.
         Pada saat itu belum ada yang namanya TK ( Taman Kanak-kanak ) atau PAUD ( Pendidikan Usia Dini) di daerah tempat tinggalku. Tingkat pendidikan usia dini ini hanya adanya di pusat kota yang berjarak sekitar 3 km. Tidak seperti sekarang, TK dan PAUD mudah untuk di temui. Dan pula saat ini seorang anak yang akan masuk SD harus menjalani TK atau PAUD terlebih dahulu.
         Orang tuaku memasukkanku di SD Negeri no 167646. Di disinilah awal aku mengenyam bangku persekolahan. Di sini juga awal aku belajar untuk bisa membaca dan menulis. Walaupun mungkin aku sempat kecewa karena orangtuaku tak menyekolahkan aku di sekolah yang aku inginkan. Lama aku baru bisa berhenti untuk mengeluhkan hal itu. Dan akhirnya berhasil, aku berhasil mengalahkan rasa egoku.
        Diawal persekolahanku, mamak selalu menemaniku. Mengantar dan menungguku diluar kelas. Karena jika aku tak melihat mamak, maka aku akan berlari keluar kelas dan menangis minta pulang. Kalau sudah begini, guru wali kelasku akan berusaha membujukku untuk kembali masuk kekelas dan kembali belajar. Terkadang saat sang guru sudah lelah dia akan membiarkanku sendiri diluar. Menunggu mamak untuk menjemputku pulang dengan air mataku yang mengalir. Hal ini berlangsung lama sampai setengah tahun lamanya.
         Karena hal itu juga awalnya kedua orang tuaku sempat ragu akan prestasiku. Mengingat aku yang paling muda dari teman-temanku yang lainnya dan aku juga yang paling sulit untuk diarahkan. Daya nalarku pun mungkin jauh di bawah teman-teman. Tapi pemikiran yang seperti itu bisa dengan segera kuhilangkan dari benak mereka.  Pada pembagian raport pertamaku, peringkat kelima dari 15 orang siswa bisa kuraih. Dilanjutkan prestasi yang terus meningkat. Perlahan tapi pasti aku bisa memacu diriku untuk mendapatkan hasil yang lebih maksimal. Pada pembagian raport yang kedua aku berhasil menggeser kedudukan temanku yang dulunya mendapat peringkat 3. Dan pada penentuan kenaikan kelas, aku berhasil mencapai jenjang yang lebih tinggi yaitu kelas 2 SD. Wah, bahagia sekali aku saat itu. Belum lagi membayangkan hadiah yang akan kudapatkan nanti.
        Dan taukah apa hadiah yang kudapat saat itu? Sebuah jacket di berikan untukku. Dan tebak itu dari siapa? Itu dari wali kelasku yang menurutku sangat baik, sabar dan sangat bijaksana. Aku sangat senang sekali  kala menerima pemberian itu. Rasanya aku mempunyai nilai lebih dari teman-temanku yang lain.
***
        Tak jauh berbeda dari awal aku memasuki bangku SD, kini aku yang merasa khawatir. Karena semakin tinggi suatu jenjang pendidikan maka pelajaran yang diterima akan semakin sulit. Apa lagi wali kelas di kels 2 berbeda dengan saat di kelas 1. Dampak dari semuanya itu, aku sering merasa kesulitan terhadap pelajaran-pelajaran ini. Kalau saat kelas 1 aku hanya belajar menulis, mengenal angka dan huruf. Saat duduk di kelas 2 aku harus bisa operasikannya dengan baik. Aku harus bisa berhitung yang mencakup penambahan dan pengurangan dan membaca secara lancar. Takut ketinggalan aku makin serius belajar, dan tak percuma peringkat kedua yang kuraih pada saat kenaikan kelas bisa kupertahankan dengan baik selama tiga kali pembagian raport berturut-turut.
        Pada saat saat itu aku menangih janji orangtuaku untuk memindahkanku ke sekolah yang sejak awal sudah kuinginkan. Dampak dari kepindahanku ini memancing pembicaraan dan opini-opini yang tidak dapat dipertanggung jawabkan dari orang-orang sekitarku. Tak jarang ada yang pula yang berpendapat kepindahanku ini karena aku yang tak naik kelas. Saat hal ini sampai di telingaku, aku langsung membantah semua yang di katakan. Aku katakan saja apa yang sebenarnya terjadi, aku memang sangat ingin bersekolah di sana sudah dari dulu.
        Namanya juga udah niat, aku tak mengambil pusing terhadap apa yang orang katakan. Toh yang tahu begaimana aku adalah aku sendiri. Yang menentukan bagaimana aku kedepannya hanya aku sendiri. Karena saat kita mendengar apa yang orang bilang tentang hal yang tak benar adanya tentang kita maka saat itu kita akan semakin terpuruk.
        Sebenarnya selain alasan itu, aku juga mempunyai alasan lain mengapa aku ingin pindah dari sekolah itu. Aku sebenarnya kerap kali mendapatkan perlakuan yang tak menyenangkan dari beberapa teman. Mereka sering mengejek dan membuli aku. Aku sering dikatakan pengadu oleh mereka. Namanya juga anak-anak, ketika mereka merasa tak nyaman atau terganggu mereka pasti akan melaporkan hal itu pada orang tuanya. Begitu juga dengan aku, karna merasa terusik aku menceritakan semua pada mamak. Keesokan harinya mama mendatangi anak itu dan memarahinya. Tak hanya itu aku juga kerap mendapatkan perlakuan kasar dari mereka.
       Dulu sewaktu pulang sekolah, seorang teman mengatakan yang tak benar tentangku. Dia mengatakan bahwa aku mengejek salah satu adik kelas yang saat itu pulang bersama kami. Mendengar hal itu sang adik kelas menyuruh temanku tadi untuk memberikan pelajaran padaku. Tak tangung-tanggung yang kuterima saat itu. Sebuah bogeman keras yang mendaran di dadaku. Rasanya begitu sakit dan saat itu juga bulir-bulir air mata mengalir di pipiku. Melihat aku menangis mereka hanya cuek lalu berlari meninggalkanku yang kesakitan. Sampai di rumah mama heran melihatku yang tengah menangis. Berkali-kali mamak menanyakanku sebab musabab mengapa aku menangis. Tapi aku tak berani mengatakanya, karena selain hal itu membuat mamak marah dan mendatangai orang itu aku juga akan semakin di cap sebagai pengadu.
        Tapi ternyata aku tak bisa menahan rasa untuk tidak mengadu. Aku menceritakan semuanya. Mamka kelihatan sangat marah waktu aku menceritakan hal itu. Keesokan harinya mamak mendatangi temanku itu. Sebagai balasan karna aku mengadu, selama satu hari penuh orang itu tidak mencakapiku. Saat itu persaan bersalah muncul.
        Cerita lainnya yaitu saat kami tengah belajar. Teman yang duduk di belakangku menggangguku. Tak terima karna diganggu aku pun membalas perbuatanya. Saat itu juga dai menuduhku telah mengganggunya yang sedang belajar. Sempat aku membela diriku dangan membantah apa yang dia katakan. Tapi bukan penyelesaian yang kudapat melainkan guru yang semakin memarahiku. Akibatnya akulah yang sanksi dari perbuatnya itu. Botol minumanku yang kugunakan saat itu untuk membalasnya, di hempaskan sang guru hingga pecah.
        Kekerasan lainnya yang pernah kudapati yaitu saat sepulang sekolah juga. Kami berjalan secara bergergerombol. Sambil bercerita tentang pelajaran dan permainnan. Pada saat itu dari arah yang berlawanan datanglah sebuah becak barang yang akan memasuki kawasan komplek perumahan guru. Saat becak itu semakin dekat ada teman yang dengan sengaja  mendorongku. Karena dorongan itu, kakiku terlindas salah satu ban becak.  Sebegitu sakitnya aku sampai tak bisa lagi untuk menangis. Dan mereka yang ada di situ hanya menontonku yang sudah kesakitan dengan wajahku yang sudah memerah. Sesaat kemudian, mereka pergi meninggalkanku sendiri di tempat itu.
         Karena semua kejadian itu, mamak semakin mengawasiku. Mamak selalu mengantar dan menjemput aku dengan sepeda mini yang kami miliki. Walau karena itu harus dikatakan sebagai anak mami, tapi setidaknya aku merasa aman. Tak ada lagi yang berani menggangu dan menyakitiku. Hidupku bebas dari kelakuan mereka yang seenaknya terhadapku.




Tidak ada komentar:

Posting Komentar