Jumat, 16 November 2012

Kisah miris seorang Panji ( Realita Kehidupan Seorang Anak Broken Home)


        Diumurnya yang masih sangat dini, Panji kini harus menerima kenyataan pahit perceraian kedua orang tuanya. Tak berhenti sampai di situ saja, ibunya juga mulai menunjukkan sikap yang aneh. Kadang tertawa tanpa sebab lalu secara tiba-tiba menangis. Bukan hanya itu saja, ibunya juga kerap kali melupakannya dan adik perempuannya.
    Kini dia harus membating tulang untuk menopang keluarganya. Dia juga harus mempertahankan prestasinya untuk tetap bisa mendapatkan beasiswa. Dia harus bisa memanajemenkan waktunya. Ibunya pun juga perlu perawatan. Semua dihadapi dengan  sejuta tantangan yang silih berganti berkunjung ke dalam roda kehidupannya. Bagaikan roda pendati yang sulit untuk berjalan maju jika tersangkut batu. Tapi jika ditarik dengan kegigihan tanpa rasa lelah dan putus asa, roda itu akan bejalan. Maka yang tadinya di bawah akan ke atas, begitu sebaliknya.
       Panji berjalan santai menyusuri teras-teras kelas yang menyambung. Tampak sebuah cekungan di bawah matanya yang begitu sayu. Wajahnya pun begitu sembab. Apa penyebabnya? Selama semalam suntuk dia belajar den mengerjakan tugas sekolahnya.
       Baru saja dia melangkahkan kakinya memasuki ruang kelasnya di XI IPA¹, seorang siswa laki-laki memanggilnya. Dengan cepat dia berbalik arah dan menunggu siswa itu mendatanginya. “Ini!” siswa lelaki itu memberikan sebuah selebaran. Panji menautkan kedua alisnya. Siswa itu hanya tersenyum dan memberi isyarat untuk Panji membacanya.
       Panji membacanya kata demi kata hingga baris demi baris. Matanya membola saat membaca daftar kandidat ketua Osis yang tertera di dalamnya. “Gue yang daftarin elo,” kata siswa lelaki itu sebelum Panji menanyakannya. Panji menatap orang itu tak percaya. “Udah, lo tenang aja sob, gue ada di belakang lo,” katanya merangkul panji berjalan memasuki ruangan kelas.
       Hendri, dialah siswa lelaki yang tadi berhasil membuat Panji membolakan matanya. Dia melihat begitu banyak potensi yang ada pada diri Panji, namun semuanya itu terpendam. Dengan cara inilah Panji mau tak mau harus mengekspos seluruhnya. Dia nekat mencalonkan Panji sebagai salah satu kandidat ketua Osis periode 2011/2012, dengan tanpa persetujuan orang yang bersangkutan. Padahal sudah dari awal Panji menyatakan dirinya tak mau mengikuti pemilihan Osis itu. Sudah cukup lelah rasanya dia harus menjalani hari-harinya yang tanpa istirahat, di tambah lagi kegiatan ini. Mungkin dia akan mati bunuh diri katanya.
       Panji memandang Hendri begitu sadis. “Gue udah bilang berkali-kali gue gak mau ikutan Hen! Lo mau gua nelantarin nyokap dan adek gue?” Hendri bersikap tenang menghadapi Panji yang sudah pasti marah padanya. Dia hanya tersenyum dan memamerkan giginya yang tersusun rapi. “Lo tenang dong, lagian lo belum tentu menangkan?”
       Berhari hari setelah itu, Panji terkesan seperti menutup dirinya dengan dunia luar. Dia menjadi pendiam, dan tak menampakkan sikap ramahnya yang selama ini menjadi ciri khasnya. “Panji Pangestu!” sudah tiga kali nama itu disebut, tapi tak kunjung ada jawaban dari sang empunya. Hendri yang geram lantas maju kedepan dan mengambil raport bualanan milik Panji.
       “Keren! Lo emang the best dah! Makan apa sih lo? Perasaan dari dulu gak ada yang bisa nyaingi lo.” Cetus Handi saat dia sudah kembali ke asalnya. Panji hanya tersenyum tipis. “Lo makan apaan sih? Dari SMP, gelar juara umum sealu lo pegang. Padahal waktu SD itu kan gue lebih pinter dari lo? Lo juga bisa main musik, nge-dance lagi!” Lagi dan lagi Panji hanya menyambutnya dengan sebuah seyuman tipis.
       Makin lama sikap Panji semakin aneh, bukan hanya pendiam dia juga cenderung lebih sensitif terhadap hal-hal yang menyinggungnya. Contohnya saja, saat Hendri menceritakan padanya tentang perdebatanya dangan ayahnya karena prestasinya, dia mendadak marah-marah tak jelas pada Hendri. Hendri yang awalnya mengharapkan solusi menjadi semakin tak mood olehnya.
      Sang wali kelas yang melihat perubahan sikap yang begitu mencolok pada diri Panji pun berniat untuk berbicara kepadanya seusai jam pulang sekolah. Menanyakan apa masalah yang saat ini sedang dialaminya. Dan mungkin akan membatu dia untuk keluar dari permasalahannya itu. Sekalian ingin memberitahukan padanya bahwa tiga hari kedepan akan diadakan seminar mengenai kepemimpinan, mengingat pemilihan ketua Osis yang akan berlangsung dalam waktu dekat.
       Panji, dia menyambut dengan baik maksud baik dari gurunya itu. Tapi dia lebih memilih bungkap dan menyimpan rapat-rapat masalahnya. Dia juga menjambut dengan baik undangan untuk seminar tersebut.
       

        Seminar berjalan lancar dan terasa sangan kondusif. Terjadi saling lempar pertanyaan antara narasumber dengan peserta. Tak terkecuali Panji tentunya, dia yang paling aktif bertanya ini itu sampai sang narasumber kewalahan mengadapinya. Melihat itu terukir senyuman di wajah Hendri dan beberapa teman sekelas Panji yang lainnya. Dalam benak mereka masing-masing mengatakan bahwa Panji sudah kembali.
         Namun di tengah-tengah seminar itu, hujan turun dengan derasnya. Menimbulkan bunyi yang menghalangi daya dengar setiap orang. Entah kenapa Panji malah kehilangan fokusnya, dia malah memperhatikan rintik-rintik hujan di luar sana. Kini dia teringat masa-masa manisnya sewaktu kecil dulu. Jauh sebelum perceraian itu terjadi. Ketika dia masih merasakan hangatnya sebuah keluarga. Saat dia sering dimarahi ayah dan ibunya ketika bermain air hujan.
        Tanpa dapat untuk dicegah, Panji berlari keluar dari aula itu. Dengan tak terkendali dia menari-nari dibawah derasnya air hujan. Tertawa dengan riangnya seperti tak mempunyai beban. Pemandangan ini tak sia-siakan siswa yang berada di tempat itu. Ada beberapa siswa yang menertawakannya, bahkan ada juga yang mengabadikan kejadian ini. Tapi tak jarang pula ada beberapa siswa yang mengikutinya untuk bermain di tengah derasnya hujan.
        Sejak kejadian itu, Panji yang mereka kenal sudah kembali lagi. Tapi secara diam-diam ada satu kebiasaan yang membuat Hendi tak habis fikir. Panji kerap kali membawa senjata tajam di dalam tasnya. Bukan hanya satu, bahkan dua kadang juga tiga buah.
        Pemilihan ketua Osis sudah berlalu beberapa jam yang lalu. Dari jejaringan facebook yang di miliki Osis periode yang akan segera berlalu, telah dinyatakan jumlah dukungan dari beberapa kandidat ketua Osis. Panji, dia kalah satu poin dengan Arny, siswa XI IPB². Dengan begitu sportif, Panji menerima kekalahannya dan memberikan selamat pada kandidat Osis yang terpilih. Awalnya Arny menawarkanya untuk menjadi wakil, tapi di tolak secara halus oleh Panji. Bebannya berkurang sedikit. Kini dia harus kembali belajar untuk persiapa Ujian Semester satu bulan mendatang.
         Hari terus berlalu tanpa disadari sebuah perjuangan akan segera di mulai. Panji kembali ke rutinitasnya yang semula, sekolah  dan mengajar privat. Ujian pun tiba. Selama seminggu mereka termasuk Panji di uji hasil belajarnya selama satu semester. Namun apa yang terjadi? Dia tak dapat mengerjakannya dengan maksimal. Banyak yang belum terjawab sampai waktu yang ditentukan habis, bahkan ada beberapa ujian yang tak terjawab sam sekali? Ada apa dengannya? Mengapa dia menjadi seperti ini?
      Panji kini hanya melangkah lemah menuju kamarnya. Membayangkan yang mungkin akan terjadi sesaat lagi. Tiba-tiba dia teringat kembali pada masa kecilnya yang awalnya begitu manis. Sampai petaka yang memecah belahkan keluarganya itu datang. Sejenak dia merenung, mengulang kembali detik demi detik kehidupannya. Begitu berat dan penuh air mata.
      Dalam diamnya dia begitu mengutuki jalan hidupnya. Mencela Tuhan yang selama ini telah memberinya karunia. Tapi dia tak menganggap itu karunia melainkan malapetaka. Dia tak terfikir akan hidupnya yang masih berjalan sampai sekarang. Begitu berharga. “Aaaa....” teiaknya keras memenuhi ruangan. Sedetik kemudian teriakan itu bersambut dengan teriakan dari seorang wanita di kamar sebelah. Wanita yang selama ini telah dia rawat dengan kasih sayang. Ibunya yang terganggu jiwanya karena perceraian.
       Kini fikirannya tak tentu lagi, dia begitu kalut dan dadanya terasa begitu sesak. Satu orang yang saat ini ada dalam benaknya adalah Hendri. Sahabatnya dari SD sampai sekarang.
       Rumah yang lumayan besar yang dari dalamnya terpancar kehangatan. Dia melangkahkan kakinya memasuki rumah itu. Ya, rumah itu sudah seperti rumahnya sendiri, dia begitu bebas untuk keluar masuk dari dalamnya. Kini pemandangan dari luar semakin jelas. Tampak seorang pemuda yang sedang asik mengemil sambil menonton. Dia mengetahi kedatangan Panji tapi pura-pura cuek.
       Merasa dicuekin, Panji langsung mengambil paksa stoples berisi cemilan yang dari tadi ada di dalam dekapan hendri. “Pantas gak kurusan, kerjaannya ngemil mulu. Kalo ngemil di ubah jadi belajar pasti kamu bisa lampaui gue,” mendengar itu hendri lantas merebut kembali stoplesnya dan menjitak Panji. Obrolan mereka belangsung begitu lama, sehingga makin terasa hangat suasana rumah itu.
       “Ibu udah gimana?” mendengar pertanyaan itu Panji hanya tertunduk lemah. Dia kembali mengutuki nasibnya. “Jawab dong. Diem mulu!” desak hendri membuat Panji yang tadinya tenang menjadi emosi. Akhirnya pertengkaran diantara keduanya tak terelakkan. Awalnya Hendri begitu sabar menghadapi Panji, tapi makin lama omongan Panji semakin menyakitkan hati. Sahabat itu juga manusia biasa yang bisa terluka hatinya.
       Entah kenapa panji terus mendorong Hendri hingga mereka sampai di dapur. Entah setan apa yang merasukinya hingga dia akhirnya menancapkan sebilah pisau dapur di perut sobatnya ini. Awalnya Hendri menyangka kalau Panji hanya bergurau, tapi itu adalah sebuah keseriusan. Hendri tergeletak tak berdaya dengan darah yang mengalir.
      Menatap hal itu Panji hanya diam mematung. Bahkan pisau yang tadi di pakainya untuk menikam Hendi masih erat digenggamannya. Tak lama sang ayah datang dengan begitu terkejut. Sedikit tak percaya akan pemandangan miris yang ada di depannya. Dihampirinya Panji yang tangannya sudah berdarah, berharap Panji akan menyadari apa yang dilakukannya. Tapi hal yang tak terduga kini kembali terjadi. Panji kembali menikamkan pisau itu, kali ini ke perut ayang dari sahabatnya. Seseorang yang selama ini juga dia anggap sebagi ayahnya.
       Kini kembali ia terdiam menatam dua orang yang sudah tergeletak tak berdaya akibat ulahnya. Kini dia sadar akan perbuatannya itu. Ibarat pepatah, tak ada gunanya penyesalan. Niatnya yang tadinya hanya ingin menenangkan fikiran malah menjadi etaka untuk sahabatnya. Sejenak ditatapnya kembali tangannya yang kini masih dengat erat menggenggam sebilah pisau. Dan kini, dengan membebi bita dia menancapkan sendiri pisau itu keperutnya.
****SELESAI****

         Tidak sedikit anak yang broken home cernderung melakukan hal-hal yang bersifat kriminal seperti cerita di atas. Kisah lainnya adalah Kasus pembunuhan yang dilakukan FT, siswa SMAN 70 terhadap siswa SMAN 6 saat tawuran di Bulungan, Jakarta Selatan, Alawy Yusanto Putra. FT diketahui sebagai anak yang kurang mendapat perhatian orangtuanya.
        Mereka bautuh di perhatikan, bukan dijauhi seperti yang kerap terjadi di ingkungan sekitar kita. Dengan perhatian mereka ttidak akan merasa ada yang kurang dari diri mereka. Perilaku mereka juga akan cenderung terkontrol. Hargai mereka, sayangi mereka, rangkul mereka.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar