Diumurnya yang masih sangat dini, Panji kini harus menerima
kenyataan pahit perceraian kedua orang tuanya. Tak berhenti sampai di situ
saja, ibunya juga mulai menunjukkan sikap yang aneh. Kadang tertawa tanpa sebab
lalu secara tiba-tiba menangis. Bukan hanya itu saja, ibunya juga kerap kali
melupakannya dan adik perempuannya.
Kini
dia harus membating tulang untuk menopang keluarganya. Dia juga harus
mempertahankan prestasinya untuk tetap bisa mendapatkan beasiswa. Dia harus
bisa memanajemenkan waktunya. Ibunya pun juga perlu perawatan. Semua dihadapi
dengan sejuta tantangan yang silih
berganti berkunjung ke dalam roda kehidupannya. Bagaikan roda pendati yang
sulit untuk berjalan maju jika tersangkut batu. Tapi jika ditarik dengan
kegigihan tanpa rasa lelah dan putus asa, roda itu akan bejalan. Maka yang
tadinya di bawah akan ke atas, begitu sebaliknya.
Panji berjalan santai menyusuri teras-teras
kelas yang menyambung. Tampak sebuah cekungan di bawah matanya yang begitu
sayu. Wajahnya pun begitu sembab. Apa penyebabnya? Selama semalam suntuk dia
belajar den mengerjakan tugas sekolahnya.
Baru saja dia
melangkahkan kakinya memasuki ruang kelasnya di XI IPA¹, seorang siswa laki-laki memanggilnya.
Dengan cepat dia berbalik arah dan menunggu siswa itu mendatanginya. “Ini!”
siswa lelaki itu memberikan sebuah selebaran. Panji menautkan kedua alisnya.
Siswa itu hanya tersenyum dan memberi isyarat untuk Panji membacanya.
Panji membacanya kata demi kata hingga
baris demi baris. Matanya membola saat membaca daftar kandidat ketua Osis yang
tertera di dalamnya. “Gue yang daftarin elo,” kata siswa lelaki itu sebelum
Panji menanyakannya. Panji menatap orang itu tak percaya. “Udah, lo tenang aja
sob, gue ada di belakang lo,” katanya merangkul panji berjalan memasuki ruangan
kelas.
Hendri, dialah siswa lelaki yang tadi
berhasil membuat Panji membolakan matanya. Dia melihat begitu banyak potensi
yang ada pada diri Panji, namun semuanya itu terpendam. Dengan cara inilah
Panji mau tak mau harus mengekspos seluruhnya. Dia nekat mencalonkan Panji
sebagai salah satu kandidat ketua Osis periode 2011/2012, dengan tanpa
persetujuan orang yang bersangkutan. Padahal sudah dari awal Panji menyatakan
dirinya tak mau mengikuti pemilihan Osis itu. Sudah cukup lelah rasanya dia
harus menjalani hari-harinya yang tanpa istirahat, di tambah lagi kegiatan ini.
Mungkin dia akan mati bunuh diri katanya.
Panji memandang Hendri begitu sadis.
“Gue udah bilang berkali-kali gue gak mau ikutan Hen! Lo mau gua nelantarin
nyokap dan adek gue?” Hendri bersikap tenang menghadapi Panji yang sudah pasti
marah padanya. Dia hanya tersenyum dan memamerkan giginya yang tersusun rapi.
“Lo tenang dong, lagian lo belum tentu menangkan?”
Berhari hari setelah itu, Panji terkesan
seperti menutup dirinya dengan dunia luar. Dia menjadi pendiam, dan tak
menampakkan sikap ramahnya yang selama ini menjadi ciri khasnya. “Panji
Pangestu!” sudah tiga kali nama itu disebut, tapi tak kunjung ada jawaban dari
sang empunya. Hendri yang geram lantas maju kedepan dan mengambil raport
bualanan milik Panji.
“Keren! Lo emang the best dah! Makan apa sih lo? Perasaan dari dulu gak ada yang
bisa nyaingi lo.” Cetus Handi saat dia sudah kembali ke asalnya. Panji hanya
tersenyum tipis. “Lo makan apaan sih? Dari SMP, gelar juara umum sealu lo
pegang. Padahal waktu SD itu kan gue lebih pinter dari lo? Lo juga bisa main
musik, nge-dance lagi!” Lagi dan lagi
Panji hanya menyambutnya dengan sebuah seyuman tipis.
Makin lama sikap Panji semakin aneh,
bukan hanya pendiam dia juga cenderung lebih sensitif terhadap hal-hal yang menyinggungnya. Contohnya saja, saat
Hendri menceritakan padanya tentang perdebatanya dangan ayahnya karena
prestasinya, dia mendadak marah-marah tak jelas pada Hendri. Hendri yang
awalnya mengharapkan solusi menjadi semakin tak mood olehnya.
Sang wali kelas yang melihat perubahan
sikap yang begitu mencolok pada diri Panji pun berniat untuk berbicara
kepadanya seusai jam pulang sekolah. Menanyakan apa masalah yang saat ini
sedang dialaminya. Dan mungkin akan membatu dia untuk keluar dari permasalahannya
itu. Sekalian ingin memberitahukan padanya bahwa tiga hari kedepan akan
diadakan seminar mengenai kepemimpinan, mengingat pemilihan ketua Osis yang
akan berlangsung dalam waktu dekat.
Panji, dia menyambut dengan baik maksud
baik dari gurunya itu. Tapi dia lebih memilih bungkap dan menyimpan rapat-rapat
masalahnya. Dia juga menjambut dengan baik undangan untuk seminar tersebut.
Seminar berjalan lancar dan terasa
sangan kondusif. Terjadi saling lempar pertanyaan antara narasumber dengan
peserta. Tak terkecuali Panji tentunya, dia yang paling aktif bertanya ini itu
sampai sang narasumber kewalahan mengadapinya. Melihat itu terukir senyuman di
wajah Hendri dan beberapa teman sekelas Panji yang lainnya. Dalam benak mereka masing-masing
mengatakan bahwa Panji sudah kembali.
Namun di tengah-tengah seminar itu,
hujan turun dengan derasnya. Menimbulkan bunyi yang menghalangi daya dengar
setiap orang. Entah kenapa Panji malah kehilangan fokusnya, dia malah
memperhatikan rintik-rintik hujan di luar sana. Kini dia teringat masa-masa
manisnya sewaktu kecil dulu. Jauh sebelum perceraian itu terjadi. Ketika dia
masih merasakan hangatnya sebuah keluarga. Saat dia sering dimarahi ayah dan
ibunya ketika bermain air hujan.
Tanpa dapat untuk dicegah, Panji berlari
keluar dari aula itu. Dengan tak terkendali dia menari-nari dibawah derasnya
air hujan. Tertawa dengan riangnya seperti tak mempunyai beban. Pemandangan ini
tak sia-siakan siswa yang berada di tempat itu. Ada beberapa siswa yang
menertawakannya, bahkan ada juga yang mengabadikan kejadian ini. Tapi tak
jarang pula ada beberapa siswa yang mengikutinya untuk bermain di tengah
derasnya hujan.
Sejak kejadian itu, Panji yang mereka
kenal sudah kembali lagi. Tapi secara diam-diam ada satu kebiasaan yang membuat
Hendi tak habis fikir. Panji kerap kali membawa senjata tajam di dalam tasnya.
Bukan hanya satu, bahkan dua kadang juga tiga buah.
Pemilihan ketua Osis sudah berlalu
beberapa jam yang lalu. Dari jejaringan facebook
yang di miliki Osis periode yang akan segera berlalu, telah dinyatakan jumlah
dukungan dari beberapa kandidat ketua Osis. Panji, dia kalah satu poin dengan
Arny, siswa XI IPB². Dengan begitu sportif,
Panji menerima kekalahannya dan memberikan selamat pada kandidat Osis yang
terpilih. Awalnya Arny menawarkanya untuk menjadi wakil, tapi di tolak secara
halus oleh Panji. Bebannya berkurang sedikit. Kini dia harus kembali belajar
untuk persiapa Ujian Semester satu bulan mendatang.
Hari terus berlalu tanpa disadari
sebuah perjuangan akan segera di mulai. Panji kembali ke rutinitasnya yang
semula, sekolah dan mengajar privat.
Ujian pun tiba. Selama seminggu mereka termasuk Panji di uji hasil belajarnya
selama satu semester. Namun apa yang terjadi? Dia tak dapat mengerjakannya
dengan maksimal. Banyak yang belum terjawab sampai waktu yang ditentukan habis,
bahkan ada beberapa ujian yang tak terjawab sam sekali? Ada apa dengannya? Mengapa
dia menjadi seperti ini?
Panji kini hanya melangkah lemah menuju
kamarnya. Membayangkan yang mungkin akan terjadi sesaat lagi. Tiba-tiba dia
teringat kembali pada masa kecilnya yang awalnya begitu manis. Sampai petaka
yang memecah belahkan keluarganya itu datang. Sejenak dia merenung, mengulang
kembali detik demi detik kehidupannya. Begitu berat dan penuh air mata.
Dalam diamnya dia begitu mengutuki jalan
hidupnya. Mencela Tuhan yang selama ini telah memberinya karunia. Tapi dia tak
menganggap itu karunia melainkan malapetaka. Dia tak terfikir akan hidupnya
yang masih berjalan sampai sekarang. Begitu berharga. “Aaaa....” teiaknya keras
memenuhi ruangan. Sedetik kemudian teriakan itu bersambut dengan teriakan dari
seorang wanita di kamar sebelah. Wanita yang selama ini telah dia rawat dengan
kasih sayang. Ibunya yang terganggu jiwanya karena perceraian.
Kini fikirannya tak tentu lagi, dia
begitu kalut dan dadanya terasa begitu sesak. Satu orang yang saat ini ada
dalam benaknya adalah Hendri. Sahabatnya dari SD sampai sekarang.
Rumah yang lumayan besar yang dari
dalamnya terpancar kehangatan. Dia melangkahkan kakinya memasuki rumah itu. Ya,
rumah itu sudah seperti rumahnya sendiri, dia begitu bebas untuk keluar masuk
dari dalamnya. Kini pemandangan dari luar semakin jelas. Tampak seorang pemuda
yang sedang asik mengemil sambil menonton. Dia mengetahi kedatangan Panji tapi
pura-pura cuek.
Merasa dicuekin, Panji langsung
mengambil paksa stoples berisi cemilan yang dari tadi ada di dalam dekapan
hendri. “Pantas gak kurusan, kerjaannya ngemil mulu. Kalo ngemil di ubah jadi
belajar pasti kamu bisa lampaui gue,” mendengar itu hendri lantas merebut
kembali stoplesnya dan menjitak Panji. Obrolan mereka belangsung begitu lama,
sehingga makin terasa hangat suasana rumah itu.
“Ibu udah gimana?” mendengar pertanyaan
itu Panji hanya tertunduk lemah. Dia kembali mengutuki nasibnya. “Jawab dong. Diem
mulu!” desak hendri membuat Panji yang tadinya tenang menjadi emosi. Akhirnya
pertengkaran diantara keduanya tak terelakkan. Awalnya Hendri begitu sabar
menghadapi Panji, tapi makin lama omongan Panji semakin menyakitkan hati.
Sahabat itu juga manusia biasa yang bisa terluka hatinya.
Entah kenapa panji terus mendorong
Hendri hingga mereka sampai di dapur. Entah setan apa yang merasukinya hingga
dia akhirnya menancapkan sebilah pisau dapur di perut sobatnya ini. Awalnya
Hendri menyangka kalau Panji hanya bergurau, tapi itu adalah sebuah keseriusan.
Hendri tergeletak tak berdaya dengan darah yang mengalir.
Menatap hal itu Panji hanya diam
mematung. Bahkan pisau yang tadi di pakainya untuk menikam Hendi masih erat digenggamannya.
Tak lama sang ayah datang dengan begitu terkejut. Sedikit tak percaya akan
pemandangan miris yang ada di depannya. Dihampirinya Panji yang tangannya sudah
berdarah, berharap Panji akan menyadari apa yang dilakukannya. Tapi hal yang
tak terduga kini kembali terjadi. Panji kembali menikamkan pisau itu, kali ini
ke perut ayang dari sahabatnya. Seseorang yang selama ini juga dia anggap
sebagi ayahnya.
Kini kembali ia terdiam menatam dua
orang yang sudah tergeletak tak berdaya akibat ulahnya. Kini dia sadar akan
perbuatannya itu. Ibarat pepatah, tak ada gunanya penyesalan. Niatnya yang
tadinya hanya ingin menenangkan fikiran malah menjadi etaka untuk sahabatnya. Sejenak
ditatapnya kembali tangannya yang kini masih dengat erat menggenggam sebilah
pisau. Dan kini, dengan membebi bita dia menancapkan sendiri pisau itu
keperutnya.
****SELESAI****
Tidak ada komentar:
Posting Komentar