Dia
Kembali
“Tyaaa.....,” terdengar teriakan
yang memanggil namaku saat melintasi koridor sekolah. Orang itu tampak
tergesa-gesa sekali, sepertinya ada berita penting yang ingin disampaikannya.
Dengan langkah santai kaki-kakiku melangkah menghampirinya.
“Kamu dipanggil ke ruang BP,
kayaknya ada yang penting,” katanya sebelum
pertanyaan terlontar. Tapi ketahuilah, saat mendengar perkataannya itu
perasaanku menjadi tak menentu. Ada perasaan cemas dan takut yang kini
berkecamuk. Bukan tak mungkin pangggilan itu adalah peringatan. Sudah 6 bulan
belakang ini aku tak membayar uang bulanan yang seharusnya dibayar setiap
bulannya.
Dengan langkah gontai aku berbalik
arah menyusuri koridor sekolah menuju ruangan BP. Berharap apa yang sesaat lalu
terlintas di benakku tak jadi kenyataan. Makin dekat sengan ruangan itu, hatiku
makin gusar. Sampai saat di depan pintu ruangan itu, terlihat Bu Maura yang
duduk sambil berkutat dengan laptopnya.
Hah! Aku jadi rindu dengan laptop kesayanganku, hadiah dari kak Landry saat
pembagian raport beberapa tahun yang lalu. Tapi sayang, laptop itu harus dijual
untuk modal usaha sesaat sesudah kami terusir dari rumah.
Kuketuk pindunya, berharap sang
penghuni akan menyambutku dengan ramah. Sesaat setelah itu sang guru berjalan
menghampiriku dan membawaku masuk kedalam.
“Kira-kira ada masalah apa ya bu?”
tanyaku ragu-ragu. Jujur, walupun bu Maura menunjukkan sikap yang ramah, aku
masih tetap was-was.
“Hmm, sebenarnya saya juga berat
untuk menyampaikan hal ini kepada kamu. Tapi inilah keputusan akhir dari rapat
yayasan seminggu yang lalu. Kamu harus segera melunasi tunggakan bulanan kamu
yang selama 6 bulan paling lambat seminggu lagi.” Ungkap bu Maura, ada perasaan
menyesal yang kutangkap dari mimik wajahnya saat ini.
“Tapi buk...” gumamku lemas,
bagaimana bisa aku mendapatkan uang sebanyak itu dengan waktu yang hanya
seminggu??
“Ibu juga sangat kecewa dengan hal
ini, kamu itu murid yang berprestasi. Sayang kalau kamu tak bisa ikut UN hanya
karena hal ini,” sesal bu Maura, wajahnya pun sangat sedih.
“Hmm, saya usahakan ya bu. Permisi
yang bu,” pamitku sopan lalu keluar dari ruang BP.
Sepanjang jalan aku terus memikirkan
hal ini. Dari mana aku bisa mendapatkan uang sebanyak Rp 1000.000,- dalam waktu
sepekan?? Tak tega rasanya jika harus menyampaikan hal ini pada Mama. Sudah
terlalu benyak beban yang dipikulnya. Haruskah aku menambahnya lagi?? Mungkin
ada baiknya kusampaikan saja hal ini pada kak Landry, mungkin dia bisa
membantuku. Atau barang kali aku bisa mengikuti jejaknya, pagi belajar siang
kerja. Cukup menarik, hitung-hitung menambah pengalaman.
Tak terasa waktu berlalu dengan
cepatnya. Malam kini datang untuk menggantikan sang siang. Malam ini kuputuskan
untuk tidur di kamar kak Landry. Selain untuk membicarakan hal yang tadi siang,
aku juga sudah rindu masa seperti ini. Sudah lama rasanya aku tak bermanja lagi
padanya. Maklumlah, harus sadar keadaan.
“Kak!” tegurku manja saat aku sudah
berada di dalam kamar kak Landry. Dia menoleh kearahku memberikan senyum
termanisnya itu. Wah, jika harus dibandingkan dengan senyumnya Bima, mungkin
aku akan bingung harus piling yang mana.
Oh, ya! Mengingat Bima, aku jadi
kangen. Kira-kira apa kabar ya dia? Dimana sekarang keberadaannya? Apa dia
sudah menemukan wanita lain di luar sana dan melupakanku? Hah!!
“Ada apa, tumben kamu manja begini?”
kak Landry tapaknya bingung dengan sikapku saat ini.
“Selain aku memang udah kangen banget
sama suasana ini, aku juga mau bilang sesuatu sama kakak,” kataku sambil
memeluk bantal bermotif kotak-kotak.
“Ada apa? Cerita aja sama kakak,
manatau kakak bisa bentu. Atau kamu kangen ya sama Bima!” Waw banget, kenapa
kak Landry tau apa yang tadi sempat terlintas di fikiranku?
“hmm, bukan itu kak. Tapi... hmm,, uang
sekolah aku. Udah 6 bulan tertunggak. Kalau seminggu ini belum juga dilunasi
aku gak bisa ikut UN..,” keluhku pada kak Landry. Sejenak dia menhela nafas panjang,
mungkin ada perasaan bingung saat ini.
“Ya udah, kamu istirahat aja. Nanti
kakak carikan, kamu doakan aja kakak punya rezeki waktu dekat ini.
Hari terus berganti tanpa tahu apa yang sedang terjadi saat ini
dengan Astya, dia begitu bingung dari mana mendapatkan uang sebanyak itu.
Pagi ini memang lebih cerah dari
hari-hari yang kemarin tapi hatiku tak
sama saperti matahari pagi ini. pandanganku jauh menembus ke dunia yang aku
sendiri tak tahu apa namanya. Sampai saat ini pun aku masih gelisah, besok hari
yang ditentukan untuk aku membayar semua tunggakan yang ada tapi sampai tadi
malam kak Landry tak kunjung mendapatkan uang yang cukup. Masih jauh dari
perkiraan yang dibutuhkan.
Melangkahkan kaki untuk melalui trotoar
setaak ini pun serasa melalui jalan berbatuan yang begitu terjal, lengah
sedikit akan masuk jurang.
Dari jauh terlihat seorang ibu yang
sibuk membenahi tasnya yang begitu berantakan. Beserta seorang anaknya. Sekilas
aku seperti mengenal orang itu, tapi siapa terlebih anak laki-laki yang sedang
bersamanya. Yang disesalkan adalah topi dan jacket yang menutupi wajahnya itu.
Kuberanikan diri untuk mendekati mereka.
Betapa gembiranya aku saat mengetahui
siapa orang dibalik topi itu dan ibu yang ada disampingnya. Tapi dimana anak
perempuan yang selalu bersama mereka, anak perempuan yang begitu ceria dan
polos. Segera kupeluk ibu itu, kuluapkan segala kerinduanku padanya tanpa
memperdulikan responnya. Kulepas pelukannya dan kucium punggung tangannya.
Wajahnya tampak kaget dan gembira
seperti wajahku sekarang. “Apa kabar kamu nak?” tanyanya sambil menciumi
pipiku. Orang yang sudah seperti ibuku sendiri. tapi sedetik kemudian terdengar
deheman dari pemuda yang tadi bersama ibu itu. Tampaknya dia sedikit kesal
denganku.
Kutoleh padanya dan memandangnya cuek.
“Siapa ya? Apa kita pernah kenal?” tanyaku berpura-pura membuatnya semakin
geram. Sementara ibu itu hanya tersenyum melihatku. “Ibu kenal siapa dia?” tanyaku
sambil sesekali melirik emuda itu.
Mungkin rasa jengkelnya yang tak
terbendung lagi, lantas dia menariku kedalam dekapannya yang sudah lama tak
kurasakan. Meras sedikit gengsi kelepaskan pelukan itu secara paksa.
“Keringatmu itu bau!” kataku ketus padanya.
Kali ini dia tersenyum penuh
kemenangan.
Bima, sosok orang yang kurindukan
telah kembali. Tapi ada satu yang kusesalkan, adiknya yang tak kalah kurindukan
harus pergi mendahului kami. Tentang uang sekolah, entah kenapa perasaanku lega
saat ini. Tak ada lagi rasanya yang akan membebaniku. Bagaiman selanjutnya, aku
sudah pasrah kalaukarena itu aku harus tak ikut ujian. Dan inilah perjalanan
hidup yang harus kulalui.
>>>>SELASAI<<<<
Tidak ada komentar:
Posting Komentar