Kamis, 01 November 2012

akhir sebuah perjalanan #7


Dia Kembali

             “Tyaaa.....,” terdengar teriakan yang memanggil namaku saat melintasi koridor sekolah. Orang itu tampak tergesa-gesa sekali, sepertinya ada berita penting yang ingin disampaikannya. Dengan langkah santai kaki-kakiku melangkah menghampirinya.
            “Kamu dipanggil ke ruang BP, kayaknya ada yang penting,” katanya  sebelum pertanyaan terlontar. Tapi ketahuilah, saat mendengar perkataannya itu perasaanku menjadi tak menentu. Ada perasaan cemas dan takut yang kini berkecamuk. Bukan tak mungkin pangggilan itu adalah peringatan. Sudah 6 bulan belakang ini aku tak membayar uang bulanan yang seharusnya dibayar setiap bulannya.
            Dengan langkah gontai aku berbalik arah menyusuri koridor sekolah menuju ruangan BP. Berharap apa yang sesaat lalu terlintas di benakku tak jadi kenyataan. Makin dekat sengan ruangan itu, hatiku makin gusar. Sampai saat di depan pintu ruangan itu, terlihat Bu Maura yang duduk sambil  berkutat dengan laptopnya. Hah! Aku jadi rindu dengan laptop kesayanganku, hadiah dari kak Landry saat pembagian raport beberapa tahun yang lalu. Tapi sayang, laptop itu harus dijual untuk modal usaha sesaat sesudah kami terusir dari rumah.
            Kuketuk pindunya, berharap sang penghuni akan menyambutku dengan ramah. Sesaat setelah itu sang guru berjalan menghampiriku dan membawaku masuk kedalam.
           “Kira-kira ada masalah apa ya bu?” tanyaku ragu-ragu. Jujur, walupun bu Maura menunjukkan sikap yang ramah, aku masih tetap was-was.
           “Hmm, sebenarnya saya juga berat untuk menyampaikan hal ini kepada kamu. Tapi inilah keputusan akhir dari rapat yayasan seminggu yang lalu. Kamu harus segera melunasi tunggakan bulanan kamu yang selama 6 bulan paling lambat seminggu lagi.” Ungkap bu Maura, ada perasaan menyesal yang kutangkap dari mimik wajahnya saat ini.
           “Tapi buk...” gumamku lemas, bagaimana bisa aku mendapatkan uang sebanyak itu dengan waktu yang hanya seminggu??
           “Ibu juga sangat kecewa dengan hal ini, kamu itu murid yang berprestasi. Sayang kalau kamu tak bisa ikut UN hanya karena hal ini,” sesal bu Maura, wajahnya pun sangat sedih.
          “Hmm, saya usahakan ya bu. Permisi yang bu,” pamitku sopan lalu keluar dari ruang BP.

          Sepanjang jalan aku terus memikirkan hal ini. Dari mana aku bisa mendapatkan uang sebanyak Rp 1000.000,- dalam waktu sepekan?? Tak tega rasanya jika harus menyampaikan hal ini pada Mama. Sudah terlalu benyak beban yang dipikulnya. Haruskah aku menambahnya lagi?? Mungkin ada baiknya kusampaikan saja hal ini pada kak Landry, mungkin dia bisa membantuku. Atau barang kali aku bisa mengikuti jejaknya, pagi belajar siang kerja. Cukup menarik, hitung-hitung menambah pengalaman.
         Tak terasa waktu berlalu dengan cepatnya. Malam kini datang untuk menggantikan sang siang. Malam ini kuputuskan untuk tidur di kamar kak Landry. Selain untuk membicarakan hal yang tadi siang, aku juga sudah rindu masa seperti ini. Sudah lama rasanya aku tak bermanja lagi padanya. Maklumlah, harus sadar keadaan.
         “Kak!” tegurku manja saat aku sudah berada di dalam kamar kak Landry. Dia menoleh kearahku memberikan senyum termanisnya itu. Wah, jika harus dibandingkan dengan senyumnya Bima, mungkin aku akan bingung harus piling yang mana.
        Oh, ya! Mengingat Bima, aku jadi kangen. Kira-kira apa kabar ya dia? Dimana sekarang keberadaannya? Apa dia sudah menemukan wanita lain di luar sana dan melupakanku? Hah!!
        “Ada apa, tumben kamu manja begini?” kak Landry tapaknya bingung dengan sikapku saat ini.
         “Selain aku memang udah kangen banget sama suasana ini, aku juga mau bilang sesuatu sama kakak,” kataku sambil memeluk bantal bermotif kotak-kotak.
        “Ada apa? Cerita aja sama kakak, manatau kakak bisa bentu. Atau kamu kangen ya sama Bima!” Waw banget, kenapa kak Landry tau apa yang tadi sempat terlintas di fikiranku?
       “hmm, bukan itu kak. Tapi... hmm,, uang sekolah aku. Udah 6 bulan tertunggak. Kalau seminggu ini belum juga dilunasi aku gak bisa ikut UN..,” keluhku pada kak Landry. Sejenak dia menhela nafas panjang, mungkin ada perasaan bingung saat ini.
        “Ya udah, kamu istirahat aja. Nanti kakak carikan, kamu doakan aja kakak punya rezeki waktu dekat ini.
        

         Hari terus berganti  tanpa tahu apa yang sedang terjadi saat ini dengan Astya, dia begitu bingung dari mana mendapatkan uang sebanyak itu.   


        Pagi ini memang lebih cerah dari hari-hari yang kemarin  tapi hatiku tak sama saperti matahari pagi ini. pandanganku jauh menembus ke dunia yang aku sendiri tak tahu apa namanya. Sampai saat ini pun aku masih gelisah, besok hari yang ditentukan untuk aku membayar semua tunggakan yang ada tapi sampai tadi malam kak Landry tak kunjung mendapatkan uang yang cukup. Masih jauh dari perkiraan   yang dibutuhkan.
        Melangkahkan kaki untuk melalui trotoar setaak ini pun serasa melalui jalan berbatuan yang begitu terjal, lengah sedikit akan masuk jurang.
         Dari jauh terlihat seorang ibu yang sibuk membenahi tasnya yang begitu berantakan. Beserta seorang anaknya. Sekilas aku seperti mengenal orang itu, tapi siapa terlebih anak laki-laki yang sedang bersamanya. Yang disesalkan adalah topi dan jacket yang menutupi wajahnya itu. Kuberanikan diri untuk mendekati mereka.
          Betapa gembiranya aku saat mengetahui siapa orang dibalik topi itu dan ibu yang ada disampingnya. Tapi dimana anak perempuan yang selalu bersama mereka, anak perempuan yang begitu ceria dan polos. Segera kupeluk ibu itu, kuluapkan segala kerinduanku padanya tanpa memperdulikan responnya. Kulepas pelukannya dan kucium punggung tangannya.
         Wajahnya tampak kaget dan gembira seperti wajahku sekarang. “Apa kabar kamu nak?” tanyanya sambil menciumi pipiku. Orang yang sudah seperti ibuku sendiri. tapi sedetik kemudian terdengar deheman dari pemuda yang tadi bersama ibu itu. Tampaknya dia sedikit kesal denganku.
        Kutoleh padanya dan memandangnya cuek. “Siapa ya? Apa kita pernah kenal?” tanyaku berpura-pura membuatnya semakin geram. Sementara ibu itu hanya tersenyum melihatku. “Ibu kenal siapa dia?” tanyaku sambil sesekali melirik emuda itu.
         Mungkin rasa jengkelnya yang tak terbendung lagi, lantas dia menariku kedalam dekapannya yang sudah lama tak kurasakan. Meras sedikit gengsi kelepaskan pelukan itu secara paksa. “Keringatmu itu bau!” kataku ketus padanya.
         Kali ini dia tersenyum penuh kemenangan.


          Bima, sosok orang yang kurindukan telah kembali. Tapi ada satu yang kusesalkan, adiknya yang tak kalah kurindukan harus pergi mendahului kami. Tentang uang sekolah, entah kenapa perasaanku lega saat ini. Tak ada lagi rasanya yang akan membebaniku. Bagaiman selanjutnya, aku sudah pasrah kalaukarena itu aku harus tak ikut ujian. Dan inilah perjalanan hidup yang harus kulalui.



>>>>SELASAI<<<<

Tidak ada komentar:

Posting Komentar