Hari-hari Tanpa Mereka
Sampai saat
ini tak ada yang tau di mana keberadaan papa. Awalnya kami mengira papa akan
pergi untuk beberapa hari saja. Tapi sampai berganti bulan Papa belum juga
kembali. Ada perasaan cemas dan gelisah saat ini yang menghantui hatiku.
Semenjak menghilangnya Papa, entah kenapa aku selalu resah. Setiap kali saat
sendiri di rumah aku selalu was-was, takut ada sesuatu yang akan terjadi. Tak
jarang juga aku sering meminta kak Landry membolos hanya untuk sekedar menemani
aku di rumah.
Kekhawatiranku
akhirnya tak meleset. Beberapa orang dari Bank datang untuk memberitahukan
bahwa Rumah beserta seluruh yang harta benda yang kami miliki sekarang harus
disita. Yang ada dibenakku saat ini adalah kemana kami harus pergi? Sementara
kondisi mama saat ini sedang sakit. Apa sanggup aku untuk mengatakan yang sejujurnya
kepada mama? Mama sudah sangat tertekan saat ini kalau harus menembah bebanya
rasanya aku tak tega. Belum lagi Lia yang masih kecil.
Dengan hati
yang sangat berat akhirnya kami-aku dan kak Landry memutuskan untuk
menceritakan hal ini dan segera pergi dari rumah ini. Rumah di mana aku di
lahirkan dan di besarkan. Tempat yang di dalamnya tersimpan sejuta kenangan
manis kala keluarga ini masih harmonis. Saksi atas segala sesuatu yang pernah
kami alami. Inilah yang suatu saat nanti akan ku rindukan.
Sampai kabar
ini di telingan mama, tangis pun tak terelakkan. Bukan mama menangisi nasib
tapi menangisi mengapa hal ini harus terjadi. Papa kembali berhutang pada pihak
Bank tanpa sepengetahuan mama. Sebagai jaminannya, rumah dan seluruh isinya.
Ternyata kebiasaan papa yang sangat suka berhutang untuk alasan-alasan yang tak
penting masih saja berlanjut.
Dulu, aku
pernah memberikan pendapatku ketika papa ingin mengambil pinjaman kembali. Tapi
apa yang terjadi, papa tak mengiraukan ucapanku. Aku di anggap sebagai anak
yang terlalu sok dewasa. Memang bukan saat itu juga dampaknya terjadi, tapi
saat ini. Saat kami kebingungan harus pergi kemana lagi. Kami sama sekali tak
mempunyai tempat saat ini.
***
Hari sudah
semakin sore, udara pun tampaknya sudah tidak menampakkan keakrabannya. Angin
bertiup kian kencang. Sementara kami masih harus berjalan entah sampai berapa
lama lagi. Rumah untuk tempat berteduh pun belum juga didapat. Tak perlu besar,
yang terpenting cukup untuk menampung kami berempat. Sampai akhirnya
butir-butir bening jatuh dari langit. Pontang-panting kami mencari tempat untuk
berteduh. Kuarahkan pandanganku kesegala penjuru dan dapat. Kaki lima sebuah
pertokoan yang kebetulan sedang tutup. Semoga sang empunya tak keberatan kami
menumpang sebentar di terasnya.
Tak lama kami
bisa menikmati tempat bertedeh ini, nasib tak baik kembali mendatangi kami.
Ternyata sang empunya tak suka akan keberadaan kami. Kami
dikatakan gembellah, pengemislah, dan lain sebegainya. Aku menatapnya tajam,
dari ujung rambut sampai ujung kakinya. Dalam hatiku berkata dan mengutukinya.
Heii, orang kaya! Takkah kau lihat baju yang kami pakai. Setidaknya pakaian
yang kami pakai masih lebih baik daripada pakaianmu itu? Emangnya tampang kami
tampang pengemis apa? Kami hanya menumpang berteduh sebentar sampai hujan
reda. Setelah itu kami akan segera
pergi.
Tapi tampaknya
dia belum mengerti akan makna dari tatapanku itu. Dia malah mendorong ibu yang
saat itu menggendong Lia. Kali ini bukan hanya emosiku yang tak terbendung tapi
juga kak Landy. Dengan sigap dia menarik kasar kerah baju orang itu lalu
mendorongnya hingga tersandar di tembok. Tak ada perlawan yang berarti dari
orang itu, sampai seorang perempuan keluar dari tempat yang sama. Gadis belia
yang berumur kira-kira seusia denganku. Tampaknya gadis ini anak sang pemilik
toko. Terlihat raut ketakutan dari wajahnya.
“Bilang sama
bokap lo yang sombong ini, kita bukan pengemis taupun gembel dan segala macam
yang sejenisnya. Kita hanya menumpang berteduh sampai hujan reda. Ngerti!!”
sentak kak Landry tanpa melepas cengkramannya.
“Kalau kalian
bukan gembel, kenapa sampai sekarang kalian belum pergi. Apa kalian tidak punya
rumah?” tanya orang itu nekat.
Mendengar hal
itu, kak landry semakin memperkuat cengkramannya. Gadis belia tadi semakin
ketakutan dan menitihkan air mata. Karna iba, akhirnya kak Landry melepas
korbannya itu dengan kasar. Bukan kapok, dia malah makin menghina kami.
“Lo belum tau
siapa gue, Apa perlu gue pangilkan para preman sini agar lo tau siapa identitas
gue? Lo itu baru aja kaya udah belagu. Sadar umur lo! Udah tua, gak pantes
kelakuan lo begini. Mendingan lo tobat mana tau sebentar lagi malaikat maut
datang buat menjemput lo! Ohya gue lupa, buat orang baru kayak lo ini sebiknya
jangan macem-macem duliu deh ya” tegas kak Landry yang akhirnya membut ciut
orang itu.
Emangnya kak
Landry itu siapa sih? Kok aku yang adiknya aja gak tau. Terus preman? Apa
hubungannya sama preman? Apa kak Landry salah satu dari komplotan itu? Selidik
punya selidik, setelah kutanya panjang lebar akhirnya terjawab sudah. Mulutku
tak henti tertawa saat mendengar penuturan kak Landry saat mengetahui kalau
sebenarnya dia itu hanya membohongi orang itu. Sungguh meyakinkan akting kak
Landry. Yah untuk saat ini kami bisa amat berkat omong kosongnya, tapi entah
dihari berikutnya.
Tak terasa pagi pun akhirnya datang, namun
tak ada satu rumahpun yang kami dapatkan. Kalau ada yang bertanya, lantas kami
tidur dimana? Jawabanya adalah di mana ada orang yang berbaik hati. Beruntung
mereka berbaik hati dengan tidak mengusir kami.
****
Hari-hari
terus terlewati dengan segala keterbatasan yang ada menjalani hari-hari yang
sudah tak seperti dulu lagi. Kini tak ada lagi yang namanya mobil mewah, rumah
gedung, kulkas yang terisi penuh, dan segala sesuatu yang kami miliki di masa
lalu. Yang sekarah hanyalah kerja keras untuk hari esok, dan kehidupan yang
pas-pasan.
Tapi walaupun
begini kami ikhlas untuk menjalaninya. Mama selalu berkata bahwa segala sesuatu
yang dijalani secara ikhlas akan teras ringan. Dan aku percaya itu.
2 Tahun kemudian....
Tidak ada komentar:
Posting Komentar