Senin, 22 Oktober 2012

Akhir Sebuah perjalanan #6


Hari-hari Tanpa Mereka

         Sampai saat ini tak ada yang tau di mana keberadaan papa. Awalnya kami mengira papa akan pergi untuk beberapa hari saja. Tapi sampai berganti bulan Papa belum juga kembali. Ada perasaan cemas dan gelisah saat ini yang menghantui hatiku. Semenjak menghilangnya Papa, entah kenapa aku selalu resah. Setiap kali saat sendiri di rumah aku selalu was-was, takut ada sesuatu yang akan terjadi. Tak jarang juga aku sering meminta kak Landry membolos hanya untuk sekedar menemani aku di rumah.
         Kekhawatiranku akhirnya tak meleset. Beberapa orang dari Bank datang untuk memberitahukan bahwa Rumah beserta seluruh yang harta benda yang kami miliki sekarang harus disita. Yang ada dibenakku saat ini adalah kemana kami harus pergi? Sementara kondisi mama saat ini sedang sakit. Apa sanggup aku untuk mengatakan yang sejujurnya kepada mama? Mama sudah sangat tertekan saat ini kalau harus menembah bebanya rasanya aku tak tega. Belum lagi Lia yang masih kecil.
         Dengan hati yang sangat berat akhirnya kami-aku dan kak Landry memutuskan untuk menceritakan hal ini dan segera pergi dari rumah ini. Rumah di mana aku di lahirkan dan di besarkan. Tempat yang di dalamnya tersimpan sejuta kenangan manis kala keluarga ini masih harmonis. Saksi atas segala sesuatu yang pernah kami alami. Inilah yang suatu saat nanti akan ku rindukan.
         Sampai kabar ini di telingan mama, tangis pun tak terelakkan. Bukan mama menangisi nasib tapi menangisi mengapa hal ini harus terjadi. Papa kembali berhutang pada pihak Bank tanpa sepengetahuan mama. Sebagai jaminannya, rumah dan seluruh isinya. Ternyata kebiasaan papa yang sangat suka berhutang untuk alasan-alasan yang tak penting masih saja berlanjut.
         Dulu, aku pernah memberikan pendapatku ketika papa ingin mengambil pinjaman kembali. Tapi apa yang terjadi, papa tak mengiraukan ucapanku. Aku di anggap sebagai anak yang terlalu sok dewasa. Memang bukan saat itu juga dampaknya terjadi, tapi saat ini. Saat kami kebingungan harus pergi kemana lagi. Kami sama sekali tak mempunyai tempat saat ini.
***

            Hari sudah semakin sore, udara pun tampaknya sudah tidak menampakkan keakrabannya. Angin bertiup kian kencang. Sementara kami masih harus berjalan entah sampai berapa lama lagi. Rumah untuk tempat berteduh pun belum juga didapat. Tak perlu besar, yang terpenting cukup untuk menampung kami berempat. Sampai akhirnya butir-butir bening jatuh dari langit. Pontang-panting kami mencari tempat untuk berteduh. Kuarahkan pandanganku kesegala penjuru dan dapat. Kaki lima sebuah pertokoan yang kebetulan sedang tutup. Semoga sang empunya tak keberatan kami menumpang sebentar di terasnya.
         Tak lama kami bisa menikmati tempat bertedeh ini, nasib tak baik kembali mendatangi kami. Ternyata  sang  empunya tak suka akan keberadaan kami. Kami dikatakan gembellah, pengemislah, dan lain sebegainya. Aku menatapnya tajam, dari ujung rambut sampai ujung kakinya. Dalam hatiku berkata dan mengutukinya. Heii, orang kaya! Takkah kau lihat baju yang kami pakai. Setidaknya pakaian yang kami pakai masih lebih baik daripada pakaianmu itu? Emangnya tampang kami tampang pengemis apa? Kami hanya menumpang berteduh sebentar sampai hujan reda.  Setelah itu kami akan segera pergi.
         Tapi tampaknya dia belum mengerti akan makna dari tatapanku itu. Dia malah mendorong ibu yang saat itu menggendong Lia. Kali ini bukan hanya emosiku yang tak terbendung tapi juga kak Landy. Dengan sigap dia menarik kasar kerah baju orang itu lalu mendorongnya hingga tersandar di tembok. Tak ada perlawan yang berarti dari orang itu, sampai seorang perempuan keluar dari tempat yang sama. Gadis belia yang berumur kira-kira seusia denganku. Tampaknya gadis ini anak sang pemilik toko. Terlihat raut ketakutan dari wajahnya.
        “Bilang sama bokap lo yang sombong ini, kita bukan pengemis taupun gembel dan segala macam yang sejenisnya. Kita hanya menumpang berteduh sampai hujan reda. Ngerti!!” sentak kak Landry tanpa melepas cengkramannya.
       “Kalau kalian bukan gembel, kenapa sampai sekarang kalian belum pergi. Apa kalian tidak punya rumah?” tanya orang itu nekat.
        Mendengar hal itu, kak landry semakin memperkuat cengkramannya. Gadis belia tadi semakin ketakutan dan menitihkan air mata. Karna iba, akhirnya kak Landry melepas korbannya itu dengan kasar. Bukan kapok, dia malah makin menghina kami.
        “Lo belum tau siapa gue, Apa perlu gue pangilkan para preman sini agar lo tau siapa identitas gue? Lo itu baru aja kaya udah belagu. Sadar umur lo! Udah tua, gak pantes kelakuan lo begini. Mendingan lo tobat mana tau sebentar lagi malaikat maut datang buat menjemput lo! Ohya gue lupa, buat orang baru kayak lo ini sebiknya jangan macem-macem duliu deh ya” tegas kak Landry yang akhirnya membut ciut orang itu.
         Emangnya kak Landry itu siapa sih? Kok aku yang adiknya aja gak tau. Terus preman? Apa hubungannya sama preman? Apa kak Landry salah satu dari komplotan itu? Selidik punya selidik, setelah kutanya panjang lebar akhirnya terjawab sudah. Mulutku tak henti tertawa saat mendengar penuturan kak Landry saat mengetahui kalau sebenarnya dia itu hanya membohongi orang itu. Sungguh meyakinkan akting kak Landry. Yah untuk saat ini kami bisa amat berkat omong kosongnya, tapi entah dihari berikutnya.
          Tak terasa pagi pun akhirnya datang, namun tak ada satu rumahpun yang kami dapatkan. Kalau ada yang bertanya, lantas kami tidur dimana? Jawabanya adalah di mana ada orang yang berbaik hati. Beruntung mereka berbaik hati dengan tidak mengusir kami.

****
          Hari-hari terus terlewati dengan segala keterbatasan yang ada menjalani hari-hari yang sudah tak seperti dulu lagi. Kini tak ada lagi yang namanya mobil mewah, rumah gedung, kulkas yang terisi penuh, dan segala sesuatu yang kami miliki di masa lalu. Yang sekarah hanyalah kerja keras untuk hari esok, dan kehidupan yang pas-pasan.
       Tapi walaupun begini kami ikhlas untuk menjalaninya. Mama selalu berkata bahwa segala sesuatu yang dijalani secara ikhlas akan teras ringan. Dan aku percaya itu.

2 Tahun kemudian....

Tidak ada komentar:

Posting Komentar