Selasa, 26 Juni 2012

Akhir sebuah perjalanan #2


PAHIT

Astya
      “Semua ini kesalahanmu, harusnya kau yang introspeksi diri!” terdengar suara teriakan. Bakan teriakan tapi lebih tepat bentakan dari luar kamar. Suara itu saling beradu seakan-akan sedang berkompetisi. Tak harus menunggu waktu yang lama akhirnya terdengar suara pecahan kaca. Nyaring sekali. Begitu nyaringanya, adikku yang tadinya masih terbuai akan alam bawah sadarnya tersentak. Tak tega rasanya melihat anak sekecil ini juga harus merasakan pahitnya yang kurasakan sekarang. Usianya masih terlalu pagi untuk semua ini.
      Setiap hari mereka selalu saja begitu. Apa mereka tidak jenuh akan situasi seperti ini.  Apa salahnya untuk mengalah dan memaafkan. Toh, mengalah bukan berarti kita mengaku kalah kan? Dan memaafkan buka berarti kita lemah? Justru kalau ku fikir lagi itu semua akan membuktikan kita cukup dewasa untuk hadapi semua masalah yang ada.  Yang aku juga tahu Tuhan tak akan memberikan masalah pada kita jika kita tak mampu ntuk menghadapinya. Kalau pun masalah itu datang, sudah pasti akan ada penyelesaiannya. Semua itu hanyalah segelintir dari beberapa ujian yang diberikanNya kepada manusia.
       Fikirku pun melayang ke beberapa tahun yang lalu saat keluarga ini begitu harmonis. Hangat dan damai. Setiap harinya selalu terdengar canda tawa dan rengekan manja dari penghuninya yang disebut sebagai anak. Suara riuh omelan dari mama dan suara tawa yang dari menggelegar papa. “Sampai kapan kalian seperti ini? Malu sama umur!” Kini sebuah suara yang lain ikut masuk ke dalamnya. Bukan lain dari kakak lelakiku. Suaranya yang lantang menggema ke seluruh penjuru rumah. Mungkin dia juga sudah jenuh dengan suasana rumah yang seperti ini.

***

        “Eh, kok nangis? Sudah jangan menengis terus, nanti kakak nagis juga ini. Sekarang mandi ya, siap-siap ke sekolah,” aku menyuruhnya bersiap-siap. Sejenak tangisnya berganti menjadi seraut pemandangan yang indah. Wajahnya memang masih sembab, dia masih senggugukan. Tubuh mungilnya naik kepangkuankusambil terus memandangi wajahku. “Kakak, mama sama papa kok berantem terus? Mereka marah ya sama aku?” ia bertanya dengan wajah polosnya. Aku hanya tersenyum mendengar pertanyaan itu. Peri kecil ini tampaknya belum begitu paham dengan kondisi ini. “Kakak kok senyum, jawab kak?” rengeknya menggoyangkan tanganku. Senyumku kembali terlukis, tampaknya dia makin bingung.
     “ish~ gak seru!” katanya penuh kekecewaan karna pertanyaannya tak dijawab. Kali ini aku tak bisa menahan tawaku melihat wajah polosnya yang ditekuk. “wajahnya jangan ditekuk gitu, mandi sana!” kataku sambil mangacak poninya. Dia pergi dengan sejuta kekesalan, dan aku tahu itu.

***

      Sepanjang perjalanan aku hanya bisa melamun. Kutatap adikku yang duduk di bangku paling belakang. Ia bernyanyi begitu riang. Pandanganku pindah ke bangku yang ada di sampingku, ke bangku pengemudi. Tampak seorang yang kakak yang begitu serius menatap ke depan ditambah lagi dengan tanganya yang sibuk mengemudi. Kini pandanganku beralih ke sebuah bingkai kecil yang terhias di depanku. Tampaknya foto itu tak pernah berpindah dari tempatnya.
       “jangan dipandangi terus, ntar mewek lagi,” kak membuyarkan lamunanku. Ternyata dia menyadari akan sikapku ini. kuakui memang dia yang paling peka terhadap suasana hatiku. Walaupun kadang sangat menyebalkan dan suka cari masalah, tapi dia yang kini menjadi tempatku menumpahka semua isi hati ini.





Tidak ada komentar:

Posting Komentar