PAHIT
Astya
“Semua ini kesalahanmu, harusnya kau yang
introspeksi diri!” terdengar suara teriakan. Bakan teriakan tapi lebih tepat
bentakan dari luar kamar. Suara itu saling beradu seakan-akan sedang
berkompetisi. Tak harus menunggu waktu yang lama akhirnya terdengar suara pecahan
kaca. Nyaring sekali. Begitu nyaringanya, adikku yang tadinya masih terbuai
akan alam bawah sadarnya tersentak. Tak tega rasanya melihat anak sekecil ini
juga harus merasakan pahitnya yang kurasakan sekarang. Usianya masih terlalu
pagi untuk semua ini.
Setiap hari mereka selalu saja begitu.
Apa mereka tidak jenuh akan situasi seperti ini. Apa salahnya untuk mengalah dan memaafkan.
Toh, mengalah bukan berarti kita mengaku kalah kan? Dan memaafkan buka berarti
kita lemah? Justru kalau ku fikir lagi itu semua akan membuktikan kita cukup
dewasa untuk hadapi semua masalah yang ada.
Yang aku juga tahu Tuhan tak akan memberikan masalah pada kita jika kita
tak mampu ntuk menghadapinya. Kalau pun masalah itu datang, sudah pasti akan
ada penyelesaiannya. Semua itu hanyalah segelintir dari beberapa ujian yang
diberikanNya kepada manusia.
Fikirku pun melayang ke beberapa tahun
yang lalu saat keluarga ini begitu harmonis. Hangat dan damai. Setiap harinya
selalu terdengar canda tawa dan rengekan manja dari penghuninya yang disebut
sebagai anak. Suara riuh omelan dari mama dan suara tawa yang dari menggelegar
papa. “Sampai kapan kalian seperti ini? Malu sama umur!” Kini sebuah suara yang
lain ikut masuk ke dalamnya. Bukan lain dari kakak lelakiku. Suaranya yang
lantang menggema ke seluruh penjuru rumah. Mungkin dia juga sudah jenuh dengan
suasana rumah yang seperti ini.
***
“Eh, kok nangis? Sudah jangan menengis
terus, nanti kakak nagis juga ini. Sekarang mandi ya, siap-siap ke sekolah,”
aku menyuruhnya bersiap-siap. Sejenak tangisnya berganti menjadi seraut
pemandangan yang indah. Wajahnya memang masih sembab, dia masih senggugukan.
Tubuh mungilnya naik kepangkuankusambil terus memandangi wajahku. “Kakak, mama
sama papa kok berantem terus? Mereka marah ya sama aku?” ia bertanya dengan
wajah polosnya. Aku hanya tersenyum mendengar pertanyaan itu. Peri kecil ini
tampaknya belum begitu paham dengan kondisi ini. “Kakak kok senyum, jawab kak?”
rengeknya menggoyangkan tanganku. Senyumku kembali terlukis, tampaknya dia
makin bingung.
“ish~ gak seru!” katanya penuh kekecewaan
karna pertanyaannya tak dijawab. Kali ini aku tak bisa menahan tawaku melihat
wajah polosnya yang ditekuk. “wajahnya jangan ditekuk gitu, mandi sana!” kataku
sambil mangacak poninya. Dia pergi dengan sejuta kekesalan, dan aku tahu itu.
***
Sepanjang perjalanan aku hanya bisa
melamun. Kutatap adikku yang duduk di bangku paling belakang. Ia bernyanyi
begitu riang. Pandanganku pindah ke bangku yang ada di sampingku, ke bangku
pengemudi. Tampak seorang yang kakak yang begitu serius menatap ke depan
ditambah lagi dengan tanganya yang sibuk mengemudi. Kini pandanganku beralih ke
sebuah bingkai kecil yang terhias di depanku. Tampaknya foto itu tak pernah
berpindah dari tempatnya.
“jangan dipandangi terus, ntar mewek
lagi,” kak membuyarkan lamunanku. Ternyata dia menyadari akan sikapku ini.
kuakui memang dia yang paling peka terhadap suasana hatiku. Walaupun kadang
sangat menyebalkan dan suka cari masalah, tapi dia yang kini menjadi tempatku
menumpahka semua isi hati ini.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar