PROLOG
Sudah tiga jam lamanya aku duduk termenung di
taman ini. Begitu banyak insan yang berlalu lalang. Tapi aku? Aku bagaikan
seorang diri diantara keramaian. Fikiranku melayang entah kemana. Tatapan yang
kosong juga wajah yang menunjukkan sebuah keibaaan bagi yang melihatnya. Dada
ini rasanya sesak bila mengingat semuanya. Adakah mereka bisa sedikit saja peka
terhadap perasaanku? Apa mereka bisa
membaca raut wajah kesedihan ini? Kalau Tuhan mengizinkan, ingin rasanya
aku pergi sejenak dari tubuh ini. Jika Tuhan mengizinkan aku ingin melihat
bagaiman ekspresi mereka saat aku tiada. Jika Tuhan mengizinkan aku ingin
berada dalam dekapanNya walau hanya sejenak.
Kini pandanganku tertuju pada sebuah
keluarga di pinggir taman. Sejenak senyum ini terukir menatap pemandangan indah
itu. Dalam khayalku itulah keluarga kami. Dulu aku juga pernah merasakan itu,
tapi sekarang aku seakan buta terhadap yang disebut dengan kasih sayang orang
tua. Aku ingin merasakan bagaimana indahnya kasih orang tua itu sekali lagi.
Hayalku kini makin terbang tinggi dan semakin tinggi. Tapi aku takut bila suatu
saat nanti akan jatuh. Pasti sangat sakit rasanya.
Kini pemandangan itu buyar saat si
ibu memarahi anaknya yang masih kecil itu. Apa arti kemarahan itu? Apakah itu
marah arti kasih sayang atau marah yang sekarang sering kuterima. Kemarahan
yang tak tau darimana sumbernya. Kadang aku bingung darimana datangnya asap
kalau tak ada apinya. Itu semua tak masuk diakal. Itu sangatlah konyol
menurutkau. Tak banyak yang dapat kulakukan sekarang. Aku tak ingin mencampuri
urusan mereka. Biarkan mereka yang menyelesaikannya sendiri.
Kini hari semakin gelap, tapi tak ada
sedikit pun niatku untuk beranjak dari tempat yang damai ini. Aku ingin lebih
lama lagi di sini. Dan tak ingin kembali. Aku ingin melihat bintang-bintang
bersinar malam ini. pasti sangat sayang jika terlewatkan begitu saja.
Sayup-sayup terdengar suara langkah
kaki seseorang. Dari bau parfumnya yang di pakainya, aku sepertinya aku sangat mengenalnya. Dia menepuk
pundakku dan menyuruhku pulang. Sempat bibir ini mengeluarkan rengekan kecil
bak seorang anak kecil meminta ice cream. Lucu juga bila dibayangkan. Tapi
tutur lembutnya dan kesabarannya akhirnya menghancurkan batu dihatiku.
“Anak sekolah mana yang baru pulang sore
begini?” tanyanya sambil membelai rambutku. Aku tersenyum malu akan tingkahku.
“Ku mohon sebentar lagi, setelah itu aku akan turuti keinginanmu!” tampak ia
menghela nafas panjang lalu menganggukkan kepalanya. Itu artinya masih ada
kesempatan sedikit lagi untuk hari ini. Kulangkahkan kakiku dan tak lupa
menggandeng tangannya lalu pulang sebelum hari semakin gelap.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar