Kamis, 28 Juni 2012

akhir sebuah perjalanan #3


DETEKTIF KONYOL

        Sepanjang proses belajar mengajar berlangsung fikiranku tak konsen. Melayang entah kemana, mungki karena dewi fortuna masih berada di sampingku sehingga tak ada yang mengetahui ini. Jam pergantian pelajaran pun kini terasa begitu cepat berlalu berganti jam istirahat pertama. Tak banyak yang kulakukan, hanya berkunjung ke sebuah perpustakaan di sudut sekolah. Lonceng  pun kembali berdentang , bertanda pelajarang akan dimulai kembali. Sungguh sangat cepat hingga kini lonceng pertanda pulang akhirnya berdentang.
        Sejenak kuamati hiruk pikuk kelas ini dengan seksama. Sangat riuh dan kini berganti sebuah kesunyian. Kondisi kelas yang tadinya saat pasi hari begitu rapi kini juga berubah menjadi berantakan. Sungguh mulia hati yang dengan sepenuh hati bekerja di sekolah ini. Kira-kira berapa dia diberi balasan setiap bulannya oleh sang empunya sekolah? Entahlah, kuharap setimpal dengan kerja kerasnya.
      Kini aku beranjak keluar kelas, tapi pandanganku tertuju pada satu kelas. Kelas ini tak jauh berantakannya dari kelasku. Tapi aku lebih tertarik lagi pada penghuninya. “Hei, kau belum pulang?” sapaku pada seseorang di dalam kelas itu. Sok akrab memang. Kini dia berjalan menghampiriku dengan tas ransel yang tergantung di kedua bahunya. Dibalasnya pertanyaanku dengan sesimpul senyuman, sejenak aku menggaruk kepalaku yang tak gatal. Binggung. Entahlah, tapi aku cukup tertarik dengan tingkahnya. “Kau kenapa?” tanyanya kepadaku membuatku semakin gila. Bagaimana dia bisa menanyakan hal itu, sudah jelas dia yang membuatku salah tingkah seperti ini.
     Kini dia berjalan mendahuluiku. Sungguh sangat tak sopan. Ah, sangat menyebalkan. Apa maksudnya? Lihat saja nanti akan kucari tahu siapa dia. Kini aku berjalan kembali mendahului dia. “Astya Frananda” seketika langkahku terhenti ketika dia memanggil namaku. Bagaimana dia mengetahui nama lengkapku, berkenalan saja belum. “Benarkan itu namamu?” kini dia memastikan ucapan tadi seraya menaikkan sebelah alisnya. Aku tak berani untuk menolehnya. Baru saja aku menyapanya dia sudah mengetahui namaku, apa lagi kalau.. ah tidak. Aku berjalan kembali tapi kali ini dengan langkah cepat takut dia mendahuluiku.

***

        Hari-hariku kini semakin dibuat penasaran oleh kehadiran siswa lelaki waktu itu. Pertama dia mengetahui nama lengkapku, kemudian dia mengetahui asal sekolahku sebelumnya, kakak lelakiku dan terakhir alamat rumahku secara lengkap. Tapi satu yang aku tak ingin dia mengetahuinya, yaitu keadaan keluargaku yang kini tak segambar dengan pemandangan luarnya. Biar aku sendiri yang menceritakannya. Itu jauh lebih baik menurutku.
       Pagi ini dia keluar dari kelasku, entah angin apa yang membuatnya masuk ke kelas ini. namun saat ingin sekali aku menyapanya tapi dia malah tersenyum dan berlalu. Perasaan ingin tahu ini makin bergejolak. Dua hari yang lalu aku sengaja menunggunya di kelas yang sama tapi para siswa penghuni kelas menyangkal keberadaannya. Beberapa kakak kelas yang kukenal telah kutanya tapi mereka tak pernah mengenal sosok orang yang kumaksud. Lalu dia siswa kelas berapa?
       Hal mengagetkan kini ada di depan mataku, dia yang selama ini membuatku penasaran berada di depan mataku. Sosok itu sedang berbicara dengan seseorang  yang sangat familiar. Dia tidak hanya mengetahui nama orang tersebut tapi juga mengenalnya dengan akrab. Berbagai macam pertanyaan kembali berkecamuk. Dimana mereka bertemu? Apa mereka sudah saling kenal sebelumnya? Atau mereka tengah bersekongkol untuk mengerjaiku?
       Langkah kaki kecil ingin menghampiri dua makhluk menyebalkan di ujung jalan sana. Ingin menanyakan apa yang sebenarnya tak kuketahui tentang semuanya. Tentang sebuah rahasia yang mungkin desembunyikan dari jiwa ini. Belum sempat kaki ini melangkah, salah seorang dari kedua orang itu lantas pergi dan yang lainnya mengampiriku. Tunggu! Aku masih ingin mengetahui siapa orang itu. Tapi mereka sepertinya tak menyadari.
   
***

      Pagi ini suasana sekolah masih seperti biasanya, tak ada yang menarik. Hanya saja pelajaran sejarah pada jam pelajaran ke empat nanti. Aku masih sangat penasaran dengan penjelasan pak Hamdani minggu kemarin tentang proses penyebaran agama-agama dan kebudayaan yang ada di Negara  ini. Sayang minggu kemarin harus terpotong karena rapat mendadak yang rutin dilaksanakan guru-guru. Sungguh tak masuk akal. Dan ketika pulang nanti aku akan kembali mengulang beberapa hari yang lalu. Sengaja berlama-lama agar bisa bertemu dengan seseorang misterius itu dan memberanikan diri menanyakan identitasnya. Haha.. sungguh sangat nekat.
     Bak pucuk dicinta ulam pun tiba. Baru saja tubuhku keluar dari ambang pintu, orang itu juga keluar dari ruangan yang dimaksud. Ia celingukan lalu berjalan lagi. Aku disini menunggunya tapi dia malah meninggalkanku. Apa dia tak menyadari keberadaanku di sini. Hei! Hentikan langkahmu anak muda, aku ingin sedikit berdialog denganmu. Apa kau tak sadar. Kau terlalu angkuh kawan. Sepertinya aku yang harus terlebih dahulu menghampir menghampirimu? Jangan panggil aku ASTYA kalau tak nekat. Hari ini kauharud bisa mengetahui namanya.
      Kulangkahkan kakiku menghampirinya sampai aku mendapatkan bahunya. Dengan ragu dia menoleh. “Ada yang bisa kubantu?” tanyanya kemudian sesimpul senyum terukir di bibir tipisnya. Tak tahu mengapa rasa keberanianku tadi ada hilang seketika seakan melarikan diri. Aku menghela nafas panjang dan mengumpulkan kembali keberanian yang tadi sempat kabur. “aku hanya... aku hanya ingin mengetahui namamu. Ya, aku ingin tauhu namamu” gumamku pelan seraya menundukkan kepalaku. Tatapannya begitu tajam.
       “Hanya itu nona?” tanyanya kemudian membuatku semakin tak karuan. Kurasa wajahku sudah memerah sekarang, ditambah lagi senyumnya yang seakan mengejek.
       “Bagaimana kau bisa tahu namaku, kakakku, asal sekolahku sebelumnya, tempat tinggalku dan mengapa kalian tampak begitu akrab?” kini suara lantang itu yang terlontar. MALU. Itu yang sekarang sedang kurasakan. Wajah ini panas, akau tak berani jika harus memperlihatkan wajahku. Pasti dia akan menertawakan hal ini dan menyebarkannya kepasa seluruh penghuni sekolah. Mau di taruh diman wajah ini. oh Tuhan, seharusnya aku tak senekat itu. Spontan aku berbalik tapi tangan ini sesasa ada yang menarik.
        “Kau tak harus menunjukkan wajahmu yang sudah seperti kepiting rebus itu kepadaku nona. Tapi yang harus kau tahu, aku sangat menyukai tingkahmu dan rasa penasaranmu terhadapku. Sebenarnya aku masih ingin membuatmu terus penasaran. Aku masih ingin menjadikanmu sebagai detektif konyol yang pernah kutemukan. Aku masih ingin melihat kenakatan apa lagi yang akan kau lakukan. Tapi karena aku kasihan padamu maka akan kuberitahukan semuanya. Ok! Namaku Bima Pratama. Sebenarnya aku bukan siswa kelas itu dan bukan pula siswa dari sekolah ini. Aku ke sini karna menurut penuturan kakakmu kau bersekolah di sini. Dan aku teman teman dekat dari kakakmu. Memang kau tak pernah melihatku. Aku baru saja pindah kesini. Aku kira sudah cukup. Ada yang lain?” tanyanya setelah menjelaskan semuanya secara detail. Aku masih dalam posisi semula. Aku tak bisa jika harus menatapnya dan pergi akhirnya meninggalkannya.
       “Hei! Apa kau tak ingin tau yang lainnya tentangku?” ia setengah berteriak karena posisiku yang yang semakin menjauh. Aku tak mengindahkan perkataannya dan terus berlari meninggalkannya sendirian. Yang aku tau saat ini harus segera menyingkir dari hadapannya atau dia akan mengetahui mukaku yang telah memerah.

***

          Hari ini aku tak melihat lagi batang hidung si siswa misterius itu. Ah, aku rasanya ingin sekali lagi melihatnya. Ya, kini aku kembali memikirkannya. Walaupun sedikit menyebalkan, aku begitu tertarik padanya. Dia juga sepertinya orang yang baik.
      “Heran, ternyata kau punya kelebihan yang lain yang tak kuketahui” sang ketua kelas menghampiri mejaku yang berada tak jauh dari mejanya. Ia sedikit terkekeh. “apa yang kau maksud?” alisku terasa bertaut. “Coba kau perhatikan posisi bukumu itu” katanya menahan tawa. Hidungnya yang besar kini kembang kempis bak ubur-ubur. Dan “astaga” buku ini terbalik, pantas saja dia tertawa.
         “Aku hanya ingin menyampaikan ini padamu” lanjutnya lagi sambil memberikan sebuah novel padaku. Setahuku aku tak mempunyai novel seperti ini. Daripada aku bingung lebih baik kubuka, siapa tahu ada tanda-tanda siapa sipengirimnya. Dan selembar kertas jatuh dari dalamnya. Kubaca dengan teliti tulisan yang tertera disana

Kutahu pasti kau sangat penasaran dengan diriku. Begitu banyak yang ingin kau ketahui dariku, bukan? Aku juga pernah merasakan hal yang sama saat pertama melihatmu. Mungkin kau tak menyadari semua itu, tapi ketahilah aku juga begitu tertarik padamu gadis mungil. Temui aku lusa di tempat makan di belakang Perpustakaan Kota, ajak juga kakakmu yang tengil itu. Haha  ^_^

      Akh, sangat menyebalkan. Sok tahu kau tentangku. Kalau begini lama-lama aku bisa gila kau buat. Kali ini aku memang akan menjadi detektif konyol. Bukan menyelesaikan masalah tapi dililit banyak teka teki yang memusingkan. Kurasa lebuh memusingkan daripada memecahkan rumus matematika.



Selasa, 26 Juni 2012

Akhir sebuah perjalanan #2


PAHIT

Astya
      “Semua ini kesalahanmu, harusnya kau yang introspeksi diri!” terdengar suara teriakan. Bakan teriakan tapi lebih tepat bentakan dari luar kamar. Suara itu saling beradu seakan-akan sedang berkompetisi. Tak harus menunggu waktu yang lama akhirnya terdengar suara pecahan kaca. Nyaring sekali. Begitu nyaringanya, adikku yang tadinya masih terbuai akan alam bawah sadarnya tersentak. Tak tega rasanya melihat anak sekecil ini juga harus merasakan pahitnya yang kurasakan sekarang. Usianya masih terlalu pagi untuk semua ini.
      Setiap hari mereka selalu saja begitu. Apa mereka tidak jenuh akan situasi seperti ini.  Apa salahnya untuk mengalah dan memaafkan. Toh, mengalah bukan berarti kita mengaku kalah kan? Dan memaafkan buka berarti kita lemah? Justru kalau ku fikir lagi itu semua akan membuktikan kita cukup dewasa untuk hadapi semua masalah yang ada.  Yang aku juga tahu Tuhan tak akan memberikan masalah pada kita jika kita tak mampu ntuk menghadapinya. Kalau pun masalah itu datang, sudah pasti akan ada penyelesaiannya. Semua itu hanyalah segelintir dari beberapa ujian yang diberikanNya kepada manusia.
       Fikirku pun melayang ke beberapa tahun yang lalu saat keluarga ini begitu harmonis. Hangat dan damai. Setiap harinya selalu terdengar canda tawa dan rengekan manja dari penghuninya yang disebut sebagai anak. Suara riuh omelan dari mama dan suara tawa yang dari menggelegar papa. “Sampai kapan kalian seperti ini? Malu sama umur!” Kini sebuah suara yang lain ikut masuk ke dalamnya. Bukan lain dari kakak lelakiku. Suaranya yang lantang menggema ke seluruh penjuru rumah. Mungkin dia juga sudah jenuh dengan suasana rumah yang seperti ini.

***

        “Eh, kok nangis? Sudah jangan menengis terus, nanti kakak nagis juga ini. Sekarang mandi ya, siap-siap ke sekolah,” aku menyuruhnya bersiap-siap. Sejenak tangisnya berganti menjadi seraut pemandangan yang indah. Wajahnya memang masih sembab, dia masih senggugukan. Tubuh mungilnya naik kepangkuankusambil terus memandangi wajahku. “Kakak, mama sama papa kok berantem terus? Mereka marah ya sama aku?” ia bertanya dengan wajah polosnya. Aku hanya tersenyum mendengar pertanyaan itu. Peri kecil ini tampaknya belum begitu paham dengan kondisi ini. “Kakak kok senyum, jawab kak?” rengeknya menggoyangkan tanganku. Senyumku kembali terlukis, tampaknya dia makin bingung.
     “ish~ gak seru!” katanya penuh kekecewaan karna pertanyaannya tak dijawab. Kali ini aku tak bisa menahan tawaku melihat wajah polosnya yang ditekuk. “wajahnya jangan ditekuk gitu, mandi sana!” kataku sambil mangacak poninya. Dia pergi dengan sejuta kekesalan, dan aku tahu itu.

***

      Sepanjang perjalanan aku hanya bisa melamun. Kutatap adikku yang duduk di bangku paling belakang. Ia bernyanyi begitu riang. Pandanganku pindah ke bangku yang ada di sampingku, ke bangku pengemudi. Tampak seorang yang kakak yang begitu serius menatap ke depan ditambah lagi dengan tanganya yang sibuk mengemudi. Kini pandanganku beralih ke sebuah bingkai kecil yang terhias di depanku. Tampaknya foto itu tak pernah berpindah dari tempatnya.
       “jangan dipandangi terus, ntar mewek lagi,” kak membuyarkan lamunanku. Ternyata dia menyadari akan sikapku ini. kuakui memang dia yang paling peka terhadap suasana hatiku. Walaupun kadang sangat menyebalkan dan suka cari masalah, tapi dia yang kini menjadi tempatku menumpahka semua isi hati ini.





Akhir Sebuah Perjalanan


PROLOG

            Sudah tiga jam lamanya aku duduk termenung di taman ini. Begitu banyak insan yang berlalu lalang. Tapi aku? Aku bagaikan seorang diri diantara keramaian. Fikiranku melayang entah kemana. Tatapan yang kosong juga wajah yang menunjukkan sebuah keibaaan bagi yang melihatnya. Dada ini rasanya sesak bila mengingat semuanya. Adakah mereka bisa sedikit saja peka terhadap perasaanku? Apa mereka bisa  membaca raut wajah kesedihan ini? Kalau Tuhan mengizinkan, ingin rasanya aku pergi sejenak dari tubuh ini. Jika Tuhan mengizinkan aku ingin melihat bagaiman ekspresi mereka saat aku tiada. Jika Tuhan mengizinkan aku ingin berada dalam dekapanNya walau hanya sejenak.
             Kini pandanganku tertuju pada sebuah keluarga di pinggir taman. Sejenak senyum ini terukir menatap pemandangan indah itu. Dalam khayalku itulah keluarga kami. Dulu aku juga pernah merasakan itu, tapi sekarang aku seakan buta terhadap yang disebut dengan kasih sayang orang tua. Aku ingin merasakan bagaimana indahnya kasih orang tua itu sekali lagi. Hayalku kini makin terbang tinggi dan semakin tinggi. Tapi aku takut bila suatu saat nanti akan jatuh. Pasti sangat sakit rasanya.
          Kini pemandangan itu buyar saat si ibu memarahi anaknya yang masih kecil itu. Apa arti kemarahan itu? Apakah itu marah arti kasih sayang atau marah yang sekarang sering kuterima. Kemarahan yang tak tau darimana sumbernya. Kadang aku bingung darimana datangnya asap kalau tak ada apinya. Itu semua tak masuk diakal. Itu sangatlah konyol menurutkau. Tak banyak yang dapat kulakukan sekarang. Aku tak ingin mencampuri urusan mereka. Biarkan mereka yang menyelesaikannya sendiri.
         Kini hari semakin gelap, tapi tak ada sedikit pun niatku untuk beranjak dari tempat yang damai ini. Aku ingin lebih lama lagi di sini. Dan tak ingin kembali. Aku ingin melihat bintang-bintang bersinar malam ini. pasti sangat sayang jika terlewatkan begitu saja.
         Sayup-sayup terdengar suara langkah kaki seseorang. Dari bau parfumnya yang di pakainya, aku  sepertinya aku sangat mengenalnya. Dia menepuk pundakku dan menyuruhku pulang. Sempat bibir ini mengeluarkan rengekan kecil bak seorang anak kecil meminta ice cream. Lucu juga bila dibayangkan. Tapi tutur lembutnya dan kesabarannya akhirnya menghancurkan batu dihatiku.
          “Anak sekolah mana yang baru pulang sore begini?” tanyanya sambil membelai rambutku. Aku tersenyum malu akan tingkahku. “Ku mohon sebentar lagi, setelah itu aku akan turuti keinginanmu!” tampak ia menghela nafas panjang lalu menganggukkan kepalanya. Itu artinya masih ada kesempatan sedikit lagi untuk hari ini. Kulangkahkan kakiku dan tak lupa menggandeng tangannya lalu pulang sebelum hari semakin gelap.