Jumat, 16 November 2012

Kisah miris seorang Panji ( Realita Kehidupan Seorang Anak Broken Home)


        Diumurnya yang masih sangat dini, Panji kini harus menerima kenyataan pahit perceraian kedua orang tuanya. Tak berhenti sampai di situ saja, ibunya juga mulai menunjukkan sikap yang aneh. Kadang tertawa tanpa sebab lalu secara tiba-tiba menangis. Bukan hanya itu saja, ibunya juga kerap kali melupakannya dan adik perempuannya.
    Kini dia harus membating tulang untuk menopang keluarganya. Dia juga harus mempertahankan prestasinya untuk tetap bisa mendapatkan beasiswa. Dia harus bisa memanajemenkan waktunya. Ibunya pun juga perlu perawatan. Semua dihadapi dengan  sejuta tantangan yang silih berganti berkunjung ke dalam roda kehidupannya. Bagaikan roda pendati yang sulit untuk berjalan maju jika tersangkut batu. Tapi jika ditarik dengan kegigihan tanpa rasa lelah dan putus asa, roda itu akan bejalan. Maka yang tadinya di bawah akan ke atas, begitu sebaliknya.
       Panji berjalan santai menyusuri teras-teras kelas yang menyambung. Tampak sebuah cekungan di bawah matanya yang begitu sayu. Wajahnya pun begitu sembab. Apa penyebabnya? Selama semalam suntuk dia belajar den mengerjakan tugas sekolahnya.
       Baru saja dia melangkahkan kakinya memasuki ruang kelasnya di XI IPA¹, seorang siswa laki-laki memanggilnya. Dengan cepat dia berbalik arah dan menunggu siswa itu mendatanginya. “Ini!” siswa lelaki itu memberikan sebuah selebaran. Panji menautkan kedua alisnya. Siswa itu hanya tersenyum dan memberi isyarat untuk Panji membacanya.
       Panji membacanya kata demi kata hingga baris demi baris. Matanya membola saat membaca daftar kandidat ketua Osis yang tertera di dalamnya. “Gue yang daftarin elo,” kata siswa lelaki itu sebelum Panji menanyakannya. Panji menatap orang itu tak percaya. “Udah, lo tenang aja sob, gue ada di belakang lo,” katanya merangkul panji berjalan memasuki ruangan kelas.
       Hendri, dialah siswa lelaki yang tadi berhasil membuat Panji membolakan matanya. Dia melihat begitu banyak potensi yang ada pada diri Panji, namun semuanya itu terpendam. Dengan cara inilah Panji mau tak mau harus mengekspos seluruhnya. Dia nekat mencalonkan Panji sebagai salah satu kandidat ketua Osis periode 2011/2012, dengan tanpa persetujuan orang yang bersangkutan. Padahal sudah dari awal Panji menyatakan dirinya tak mau mengikuti pemilihan Osis itu. Sudah cukup lelah rasanya dia harus menjalani hari-harinya yang tanpa istirahat, di tambah lagi kegiatan ini. Mungkin dia akan mati bunuh diri katanya.
       Panji memandang Hendri begitu sadis. “Gue udah bilang berkali-kali gue gak mau ikutan Hen! Lo mau gua nelantarin nyokap dan adek gue?” Hendri bersikap tenang menghadapi Panji yang sudah pasti marah padanya. Dia hanya tersenyum dan memamerkan giginya yang tersusun rapi. “Lo tenang dong, lagian lo belum tentu menangkan?”
       Berhari hari setelah itu, Panji terkesan seperti menutup dirinya dengan dunia luar. Dia menjadi pendiam, dan tak menampakkan sikap ramahnya yang selama ini menjadi ciri khasnya. “Panji Pangestu!” sudah tiga kali nama itu disebut, tapi tak kunjung ada jawaban dari sang empunya. Hendri yang geram lantas maju kedepan dan mengambil raport bualanan milik Panji.
       “Keren! Lo emang the best dah! Makan apa sih lo? Perasaan dari dulu gak ada yang bisa nyaingi lo.” Cetus Handi saat dia sudah kembali ke asalnya. Panji hanya tersenyum tipis. “Lo makan apaan sih? Dari SMP, gelar juara umum sealu lo pegang. Padahal waktu SD itu kan gue lebih pinter dari lo? Lo juga bisa main musik, nge-dance lagi!” Lagi dan lagi Panji hanya menyambutnya dengan sebuah seyuman tipis.
       Makin lama sikap Panji semakin aneh, bukan hanya pendiam dia juga cenderung lebih sensitif terhadap hal-hal yang menyinggungnya. Contohnya saja, saat Hendri menceritakan padanya tentang perdebatanya dangan ayahnya karena prestasinya, dia mendadak marah-marah tak jelas pada Hendri. Hendri yang awalnya mengharapkan solusi menjadi semakin tak mood olehnya.
      Sang wali kelas yang melihat perubahan sikap yang begitu mencolok pada diri Panji pun berniat untuk berbicara kepadanya seusai jam pulang sekolah. Menanyakan apa masalah yang saat ini sedang dialaminya. Dan mungkin akan membatu dia untuk keluar dari permasalahannya itu. Sekalian ingin memberitahukan padanya bahwa tiga hari kedepan akan diadakan seminar mengenai kepemimpinan, mengingat pemilihan ketua Osis yang akan berlangsung dalam waktu dekat.
       Panji, dia menyambut dengan baik maksud baik dari gurunya itu. Tapi dia lebih memilih bungkap dan menyimpan rapat-rapat masalahnya. Dia juga menjambut dengan baik undangan untuk seminar tersebut.
       

        Seminar berjalan lancar dan terasa sangan kondusif. Terjadi saling lempar pertanyaan antara narasumber dengan peserta. Tak terkecuali Panji tentunya, dia yang paling aktif bertanya ini itu sampai sang narasumber kewalahan mengadapinya. Melihat itu terukir senyuman di wajah Hendri dan beberapa teman sekelas Panji yang lainnya. Dalam benak mereka masing-masing mengatakan bahwa Panji sudah kembali.
         Namun di tengah-tengah seminar itu, hujan turun dengan derasnya. Menimbulkan bunyi yang menghalangi daya dengar setiap orang. Entah kenapa Panji malah kehilangan fokusnya, dia malah memperhatikan rintik-rintik hujan di luar sana. Kini dia teringat masa-masa manisnya sewaktu kecil dulu. Jauh sebelum perceraian itu terjadi. Ketika dia masih merasakan hangatnya sebuah keluarga. Saat dia sering dimarahi ayah dan ibunya ketika bermain air hujan.
        Tanpa dapat untuk dicegah, Panji berlari keluar dari aula itu. Dengan tak terkendali dia menari-nari dibawah derasnya air hujan. Tertawa dengan riangnya seperti tak mempunyai beban. Pemandangan ini tak sia-siakan siswa yang berada di tempat itu. Ada beberapa siswa yang menertawakannya, bahkan ada juga yang mengabadikan kejadian ini. Tapi tak jarang pula ada beberapa siswa yang mengikutinya untuk bermain di tengah derasnya hujan.
        Sejak kejadian itu, Panji yang mereka kenal sudah kembali lagi. Tapi secara diam-diam ada satu kebiasaan yang membuat Hendi tak habis fikir. Panji kerap kali membawa senjata tajam di dalam tasnya. Bukan hanya satu, bahkan dua kadang juga tiga buah.
        Pemilihan ketua Osis sudah berlalu beberapa jam yang lalu. Dari jejaringan facebook yang di miliki Osis periode yang akan segera berlalu, telah dinyatakan jumlah dukungan dari beberapa kandidat ketua Osis. Panji, dia kalah satu poin dengan Arny, siswa XI IPB². Dengan begitu sportif, Panji menerima kekalahannya dan memberikan selamat pada kandidat Osis yang terpilih. Awalnya Arny menawarkanya untuk menjadi wakil, tapi di tolak secara halus oleh Panji. Bebannya berkurang sedikit. Kini dia harus kembali belajar untuk persiapa Ujian Semester satu bulan mendatang.
         Hari terus berlalu tanpa disadari sebuah perjuangan akan segera di mulai. Panji kembali ke rutinitasnya yang semula, sekolah  dan mengajar privat. Ujian pun tiba. Selama seminggu mereka termasuk Panji di uji hasil belajarnya selama satu semester. Namun apa yang terjadi? Dia tak dapat mengerjakannya dengan maksimal. Banyak yang belum terjawab sampai waktu yang ditentukan habis, bahkan ada beberapa ujian yang tak terjawab sam sekali? Ada apa dengannya? Mengapa dia menjadi seperti ini?
      Panji kini hanya melangkah lemah menuju kamarnya. Membayangkan yang mungkin akan terjadi sesaat lagi. Tiba-tiba dia teringat kembali pada masa kecilnya yang awalnya begitu manis. Sampai petaka yang memecah belahkan keluarganya itu datang. Sejenak dia merenung, mengulang kembali detik demi detik kehidupannya. Begitu berat dan penuh air mata.
      Dalam diamnya dia begitu mengutuki jalan hidupnya. Mencela Tuhan yang selama ini telah memberinya karunia. Tapi dia tak menganggap itu karunia melainkan malapetaka. Dia tak terfikir akan hidupnya yang masih berjalan sampai sekarang. Begitu berharga. “Aaaa....” teiaknya keras memenuhi ruangan. Sedetik kemudian teriakan itu bersambut dengan teriakan dari seorang wanita di kamar sebelah. Wanita yang selama ini telah dia rawat dengan kasih sayang. Ibunya yang terganggu jiwanya karena perceraian.
       Kini fikirannya tak tentu lagi, dia begitu kalut dan dadanya terasa begitu sesak. Satu orang yang saat ini ada dalam benaknya adalah Hendri. Sahabatnya dari SD sampai sekarang.
       Rumah yang lumayan besar yang dari dalamnya terpancar kehangatan. Dia melangkahkan kakinya memasuki rumah itu. Ya, rumah itu sudah seperti rumahnya sendiri, dia begitu bebas untuk keluar masuk dari dalamnya. Kini pemandangan dari luar semakin jelas. Tampak seorang pemuda yang sedang asik mengemil sambil menonton. Dia mengetahi kedatangan Panji tapi pura-pura cuek.
       Merasa dicuekin, Panji langsung mengambil paksa stoples berisi cemilan yang dari tadi ada di dalam dekapan hendri. “Pantas gak kurusan, kerjaannya ngemil mulu. Kalo ngemil di ubah jadi belajar pasti kamu bisa lampaui gue,” mendengar itu hendri lantas merebut kembali stoplesnya dan menjitak Panji. Obrolan mereka belangsung begitu lama, sehingga makin terasa hangat suasana rumah itu.
       “Ibu udah gimana?” mendengar pertanyaan itu Panji hanya tertunduk lemah. Dia kembali mengutuki nasibnya. “Jawab dong. Diem mulu!” desak hendri membuat Panji yang tadinya tenang menjadi emosi. Akhirnya pertengkaran diantara keduanya tak terelakkan. Awalnya Hendri begitu sabar menghadapi Panji, tapi makin lama omongan Panji semakin menyakitkan hati. Sahabat itu juga manusia biasa yang bisa terluka hatinya.
       Entah kenapa panji terus mendorong Hendri hingga mereka sampai di dapur. Entah setan apa yang merasukinya hingga dia akhirnya menancapkan sebilah pisau dapur di perut sobatnya ini. Awalnya Hendri menyangka kalau Panji hanya bergurau, tapi itu adalah sebuah keseriusan. Hendri tergeletak tak berdaya dengan darah yang mengalir.
      Menatap hal itu Panji hanya diam mematung. Bahkan pisau yang tadi di pakainya untuk menikam Hendi masih erat digenggamannya. Tak lama sang ayah datang dengan begitu terkejut. Sedikit tak percaya akan pemandangan miris yang ada di depannya. Dihampirinya Panji yang tangannya sudah berdarah, berharap Panji akan menyadari apa yang dilakukannya. Tapi hal yang tak terduga kini kembali terjadi. Panji kembali menikamkan pisau itu, kali ini ke perut ayang dari sahabatnya. Seseorang yang selama ini juga dia anggap sebagi ayahnya.
       Kini kembali ia terdiam menatam dua orang yang sudah tergeletak tak berdaya akibat ulahnya. Kini dia sadar akan perbuatannya itu. Ibarat pepatah, tak ada gunanya penyesalan. Niatnya yang tadinya hanya ingin menenangkan fikiran malah menjadi etaka untuk sahabatnya. Sejenak ditatapnya kembali tangannya yang kini masih dengat erat menggenggam sebilah pisau. Dan kini, dengan membebi bita dia menancapkan sendiri pisau itu keperutnya.
****SELESAI****

         Tidak sedikit anak yang broken home cernderung melakukan hal-hal yang bersifat kriminal seperti cerita di atas. Kisah lainnya adalah Kasus pembunuhan yang dilakukan FT, siswa SMAN 70 terhadap siswa SMAN 6 saat tawuran di Bulungan, Jakarta Selatan, Alawy Yusanto Putra. FT diketahui sebagai anak yang kurang mendapat perhatian orangtuanya.
        Mereka bautuh di perhatikan, bukan dijauhi seperti yang kerap terjadi di ingkungan sekitar kita. Dengan perhatian mereka ttidak akan merasa ada yang kurang dari diri mereka. Perilaku mereka juga akan cenderung terkontrol. Hargai mereka, sayangi mereka, rangkul mereka.

Kamis, 01 November 2012

akhir sebuah perjalanan #7


Dia Kembali

             “Tyaaa.....,” terdengar teriakan yang memanggil namaku saat melintasi koridor sekolah. Orang itu tampak tergesa-gesa sekali, sepertinya ada berita penting yang ingin disampaikannya. Dengan langkah santai kaki-kakiku melangkah menghampirinya.
            “Kamu dipanggil ke ruang BP, kayaknya ada yang penting,” katanya  sebelum pertanyaan terlontar. Tapi ketahuilah, saat mendengar perkataannya itu perasaanku menjadi tak menentu. Ada perasaan cemas dan takut yang kini berkecamuk. Bukan tak mungkin pangggilan itu adalah peringatan. Sudah 6 bulan belakang ini aku tak membayar uang bulanan yang seharusnya dibayar setiap bulannya.
            Dengan langkah gontai aku berbalik arah menyusuri koridor sekolah menuju ruangan BP. Berharap apa yang sesaat lalu terlintas di benakku tak jadi kenyataan. Makin dekat sengan ruangan itu, hatiku makin gusar. Sampai saat di depan pintu ruangan itu, terlihat Bu Maura yang duduk sambil  berkutat dengan laptopnya. Hah! Aku jadi rindu dengan laptop kesayanganku, hadiah dari kak Landry saat pembagian raport beberapa tahun yang lalu. Tapi sayang, laptop itu harus dijual untuk modal usaha sesaat sesudah kami terusir dari rumah.
            Kuketuk pindunya, berharap sang penghuni akan menyambutku dengan ramah. Sesaat setelah itu sang guru berjalan menghampiriku dan membawaku masuk kedalam.
           “Kira-kira ada masalah apa ya bu?” tanyaku ragu-ragu. Jujur, walupun bu Maura menunjukkan sikap yang ramah, aku masih tetap was-was.
           “Hmm, sebenarnya saya juga berat untuk menyampaikan hal ini kepada kamu. Tapi inilah keputusan akhir dari rapat yayasan seminggu yang lalu. Kamu harus segera melunasi tunggakan bulanan kamu yang selama 6 bulan paling lambat seminggu lagi.” Ungkap bu Maura, ada perasaan menyesal yang kutangkap dari mimik wajahnya saat ini.
           “Tapi buk...” gumamku lemas, bagaimana bisa aku mendapatkan uang sebanyak itu dengan waktu yang hanya seminggu??
           “Ibu juga sangat kecewa dengan hal ini, kamu itu murid yang berprestasi. Sayang kalau kamu tak bisa ikut UN hanya karena hal ini,” sesal bu Maura, wajahnya pun sangat sedih.
          “Hmm, saya usahakan ya bu. Permisi yang bu,” pamitku sopan lalu keluar dari ruang BP.

          Sepanjang jalan aku terus memikirkan hal ini. Dari mana aku bisa mendapatkan uang sebanyak Rp 1000.000,- dalam waktu sepekan?? Tak tega rasanya jika harus menyampaikan hal ini pada Mama. Sudah terlalu benyak beban yang dipikulnya. Haruskah aku menambahnya lagi?? Mungkin ada baiknya kusampaikan saja hal ini pada kak Landry, mungkin dia bisa membantuku. Atau barang kali aku bisa mengikuti jejaknya, pagi belajar siang kerja. Cukup menarik, hitung-hitung menambah pengalaman.
         Tak terasa waktu berlalu dengan cepatnya. Malam kini datang untuk menggantikan sang siang. Malam ini kuputuskan untuk tidur di kamar kak Landry. Selain untuk membicarakan hal yang tadi siang, aku juga sudah rindu masa seperti ini. Sudah lama rasanya aku tak bermanja lagi padanya. Maklumlah, harus sadar keadaan.
         “Kak!” tegurku manja saat aku sudah berada di dalam kamar kak Landry. Dia menoleh kearahku memberikan senyum termanisnya itu. Wah, jika harus dibandingkan dengan senyumnya Bima, mungkin aku akan bingung harus piling yang mana.
        Oh, ya! Mengingat Bima, aku jadi kangen. Kira-kira apa kabar ya dia? Dimana sekarang keberadaannya? Apa dia sudah menemukan wanita lain di luar sana dan melupakanku? Hah!!
        “Ada apa, tumben kamu manja begini?” kak Landry tapaknya bingung dengan sikapku saat ini.
         “Selain aku memang udah kangen banget sama suasana ini, aku juga mau bilang sesuatu sama kakak,” kataku sambil memeluk bantal bermotif kotak-kotak.
        “Ada apa? Cerita aja sama kakak, manatau kakak bisa bentu. Atau kamu kangen ya sama Bima!” Waw banget, kenapa kak Landry tau apa yang tadi sempat terlintas di fikiranku?
       “hmm, bukan itu kak. Tapi... hmm,, uang sekolah aku. Udah 6 bulan tertunggak. Kalau seminggu ini belum juga dilunasi aku gak bisa ikut UN..,” keluhku pada kak Landry. Sejenak dia menhela nafas panjang, mungkin ada perasaan bingung saat ini.
        “Ya udah, kamu istirahat aja. Nanti kakak carikan, kamu doakan aja kakak punya rezeki waktu dekat ini.
        

         Hari terus berganti  tanpa tahu apa yang sedang terjadi saat ini dengan Astya, dia begitu bingung dari mana mendapatkan uang sebanyak itu.   


        Pagi ini memang lebih cerah dari hari-hari yang kemarin  tapi hatiku tak sama saperti matahari pagi ini. pandanganku jauh menembus ke dunia yang aku sendiri tak tahu apa namanya. Sampai saat ini pun aku masih gelisah, besok hari yang ditentukan untuk aku membayar semua tunggakan yang ada tapi sampai tadi malam kak Landry tak kunjung mendapatkan uang yang cukup. Masih jauh dari perkiraan   yang dibutuhkan.
        Melangkahkan kaki untuk melalui trotoar setaak ini pun serasa melalui jalan berbatuan yang begitu terjal, lengah sedikit akan masuk jurang.
         Dari jauh terlihat seorang ibu yang sibuk membenahi tasnya yang begitu berantakan. Beserta seorang anaknya. Sekilas aku seperti mengenal orang itu, tapi siapa terlebih anak laki-laki yang sedang bersamanya. Yang disesalkan adalah topi dan jacket yang menutupi wajahnya itu. Kuberanikan diri untuk mendekati mereka.
          Betapa gembiranya aku saat mengetahui siapa orang dibalik topi itu dan ibu yang ada disampingnya. Tapi dimana anak perempuan yang selalu bersama mereka, anak perempuan yang begitu ceria dan polos. Segera kupeluk ibu itu, kuluapkan segala kerinduanku padanya tanpa memperdulikan responnya. Kulepas pelukannya dan kucium punggung tangannya.
         Wajahnya tampak kaget dan gembira seperti wajahku sekarang. “Apa kabar kamu nak?” tanyanya sambil menciumi pipiku. Orang yang sudah seperti ibuku sendiri. tapi sedetik kemudian terdengar deheman dari pemuda yang tadi bersama ibu itu. Tampaknya dia sedikit kesal denganku.
        Kutoleh padanya dan memandangnya cuek. “Siapa ya? Apa kita pernah kenal?” tanyaku berpura-pura membuatnya semakin geram. Sementara ibu itu hanya tersenyum melihatku. “Ibu kenal siapa dia?” tanyaku sambil sesekali melirik emuda itu.
         Mungkin rasa jengkelnya yang tak terbendung lagi, lantas dia menariku kedalam dekapannya yang sudah lama tak kurasakan. Meras sedikit gengsi kelepaskan pelukan itu secara paksa. “Keringatmu itu bau!” kataku ketus padanya.
         Kali ini dia tersenyum penuh kemenangan.


          Bima, sosok orang yang kurindukan telah kembali. Tapi ada satu yang kusesalkan, adiknya yang tak kalah kurindukan harus pergi mendahului kami. Tentang uang sekolah, entah kenapa perasaanku lega saat ini. Tak ada lagi rasanya yang akan membebaniku. Bagaiman selanjutnya, aku sudah pasrah kalaukarena itu aku harus tak ikut ujian. Dan inilah perjalanan hidup yang harus kulalui.



>>>>SELASAI<<<<

Jumat, 26 Oktober 2012

Cerpen : September Kelabu

Walau bulan september udah berlalu, sepertinya tak salah kalau membaca cerpen yang satu ini. awalnya cerpen ini cerpen yang aku ikut sertakan di kompetisi menulis di salah satu penerbit yang lumayan famous. Cuma karna udah pasti kalah karena akunya salah alamt email ya sudahlah, tak ada salahnya untuk berbagi. Selamat membaca




SEPTEMBER KELABU


         Kata orang bulan sepetember itu menyenangkan. Bagiku tidak, bukan hanya menyenangkan tapi juga menyedihkana. Halmini bisa ku jelaskan dalam kisahku.
        Sampai sekarang aku masih merasa seakan semua ini hanya mimpi disiang bolong. Semuanya terjadi begitu cepat, bahkan sangat cepat. Padahal baru beberapa minggu yang lau kami bertemu, dan semuanya masih baik-baik saja. Tak ada masalah diantara kami. Semua masih seperti sedia kala. Apa ini akibat dari keegoisanku dan keras kepalaku.
        Kalau awalnya aku tahu hal ini akan terjadi mungkin aku akan kembali memikirkan keputusan ini. Niatku memperjuangkan masa depanku ternyata merusak hal sesuatu yang telah kuperjuangkan selama bertahun-tahun. Yang kusesalkan adalah mengapa pilihan itu diperhadapkan padaku. Mengapa bukan orang lain yang merasakannya. Mengapa aku yang harus menanggung kesakitan ini.
          Aku masih termenung sendiri di tempat ini. Menatap sebuah kertas berpita coklat. Selembar kertas pertanda berakhirnya hubungan yang mati-matian diperjuangkan. Sekuat tenaga ku tahan bulir-bulir bening ini menetes. Aku tak ingin terlihat lemah di pesta bersejarah itu. Sebuat upacara terpenting dalam hidupnya. Hal yang terjadi hanya sekali dalam seumur hidup setiap manusia.
           Lama aku duduk di sini, di tempat pertama kali kami bertemu. Sebuah peristiwa lucu dan manis untuk di buang begitu saja. Tapi rasanya bagitu pahit untuk di ingat-ingat kembali. Kesalahfahaman yang menimbulkan rasa diantara dua insan yang berbeda. Mungkin saat ini sesimpul senyuman terlukis di wajah ovalku.
           Saat itu aku hanya murid seorang SMA yang kelabakan karena sang adik menghilang entah kemana. Bocah perempuan berumur 5 tahun ini tak ada di tempat saat aku kembali membawakan ice cream permintaannya. Saat itu rasanya aku sudah bolak-balik berkeliling taman bermain ini untuk mencarinya. Tapi entah kenapa dia tak kunjung ketemu juga. Rasanya sudah sangat lelah. Belum lagi saat itu cuaca tampaknya tak menujukkan suatu keakraban, langit mulai menurunkan bulir-bulirnya. Dalam keadaan panik aku terus mencari sampai hujan turun dengan derasnya. Dan tak bisa terelakan lagi, badanku yang masih terbalut seragam ini mau tak mau harus basah.
          Saat itu dari kejauhan kulihat seorang lelaki yang tampaknya sedang bergurau dengan seorang anak kecil. Aku tak mengenal lelaki itu, tetapi anak yang bersamanya aku hafal jelas siapa dia. Dengan langkah terburu-buru aku langsung menghampiri mereka. Dengan wajah cemas bercampur kesal. Sudah lelah aku mencari ternyata dia bersama orang lain yang tek pernah dikenal sebelumnya.  Dengan segera kutarik tangannya, tapi entah mengapa dia malah menangis. Karena kaget atas perbuatanku, sang pemuda yang tadinya masih tertawa seketika itu juga diam. Mungkin dia berfikir aku adalah orang yang kasar dan sangat tak bersahabat. Dengan seenaknya aku malah memarahinya habis-habisan, padahal aku tak tahu apa yang sudah terjadi. Tapi sesaat kemudian di tersenyum padaku.
           Pemuda berkacamata itu dengan sabar menjelaskan padaku. Tak terlihat raut wajah emosi di wajahnya. Yang ada hanya sebuah senyuman ikhlas. Dan tutur kata yang bersahabat. Tampaknya dia seorang yang berpendidikan. Bisa dilihat dengantuturnya yang sopan. Kini dia malah merunduk, menyamakan tingginya dengan tinggi Anggi. Mengusap-usap kepalanya. Membujuk Anggi agar tak menangis lagi.
         Kira-kira sebulan kemudian aku bertemu kembali dengannya, tapi bukan lagi di Taman Bermain seperti saat itu. Ternyata dia kebagian tugas  Praktek Kerja Lapangan dari kampusnya selama kurang lebih dua setengah bulan di sekolahku. Sempat ada rasa malu saat berpapasan dengannya. Saat itu aku berharap dia takkan masuk ke kelasku. Tapi mungkin Doaku tak dikabulkan Tuhan. Seminggu tiga kali dia menggantikan posisi guru Fisika di kelasku. Di kelas XI IPA-3, kelasnya orang-orang gokil alias gila alias stres.
           Selama masa itu, aku mungkin bisa dibilang sebagai murid paling ngeselin. Bagaimana tidak, selama dia menjelaskan aku terus-menerus  mengajukan pertanyaan-pertanyaan dan protes-protes. Beginilah begitulah, kurang inilah kurang itulah, kritik inilah kritik itulah. Mungkin dia sudah tahan mental dengan yang seperti ini. Sebelum menjawab pertanyaanku dia tersenyum terlebih dahulu baru menjelaskan sampai sejelas-jelasnya.
          Bahkan pernah ada rekannya yang tak sengaja memperhatikan kondisi saat dia mengajar hanya bisa geleng kepala. Teman-teman juga kerap menegurku. Ya bagaimana lagi, dari awal bertemu aku sudah bersikap jutek, jadi ya di terusin saja. Agak jaim sedikit gak apa kali ya? Bahkan aku baru menegetahui namanya saja di akhir-akrir masa praktenya. Raka Dewantara. Itulah nama lengkapnya, oleh temen-teman sering di panggil Pak Dewa. Tapi kalau aku manggilnya Pak Raka.
         Saat masa prakteknya selesai pun aku tak ada respon apa-apa. Hanya menyalamnya dan mengucap sepatah kalimat yaitu “Maaf! Semoga Sukses!” Saat itu pun aku tak sekilas menatap wajahnya. Maksudku ingin segera beralih menjabat tangan yang lainnya tapi dia malah menahannya. Kembali senyuman terlukis di wajahnya.
        “Maaf pak, temen-temen yang lain juga mau giliran.” Kataku cuek.
        Saat itu juga terasa olehku kalau kaki kananku dengan sengeja di pijak oleh Rika, sahabatku dari kecil. Seketika itu juga aku meringis. Terdengar tawa kecil darinya, sesekali temannya seperjuangan berbisik-bisik. Mungkin saat itu mereka sedang membicarakan kejutekanku. Karna udah terlajur malu, daripada jadi salah tingkah gak jelas mending kabur.
         Beberapa waktu perpisahan itu, aku tak pernah bertemu lagi dengannya. Baik di sekolah, di taman bermain atau di mana saja. Ya aku merasa Puji Tuhan banget gak pernah ketemulagi. Tapi kelegaan itu gak bertahan lama. Keesokan harinya aku bertemu lagi dengannya saat dia di terminal Bus. Waktu itu aku lagi menjemput saudara yang katanya ada keperluan di sini. Saat itu aku berharap tak bertemu dengannya, aku mencoba menghindar. Tapi terlambat, dia udah melihat wajahku.
         “Claudya Anastasya kan?” tanyanya saat dia sudah di hadapanku.
         “Ia pak.” Jawabku singkat sesingkat-singkatnya.
         “Sombong banget sekarang.” Katanya lagi padaku.
         Itulah yang keluar dari mulutnya. Menjengkelkan bukan? Dia yang sudah lama gak kelihatan batang hidungnya, malah dia yang ngeledek sombong. Gak kebalik tuh. Dan ujung-ujungnya dia menyuruhku untuk memanggilnya dengan sebutan KAKAK!
         Apa lagi ini. kalau begini terus aku bisa pingsan di tempat. Karna gak tahu harus gimana menanggapinya, ya akhirnya aku harus mengeluarkan jurus terakhir “Nyengir Kuda.”
        Singkat cerita, entah kenapa kami menjadi semakin dekat. Aku saja sampai pusing untuk mencari sebab musabab kedekatan kami itu. Tapi tak banyak yang mengetahui hal ini. Karena ku lebih memilih untuk tidak bercerita alias bungkam. Bahkan ke Rika pun tidak. Sebab jika Rika mengetahui hal ini sudah dipastikan dia akan menceritakannya pada teman-teman. Terutama pada Siska, seorang kakak kakak kelas yang sangat tergila-gila pada kak Raka. Bisa rusak reputasiku sebagai murid paling jutek. Haha..
        Sampai suatu saat dia berkeras ingin sekedar main ke rumah. Terkejut sih iya, sejak kapan dia mau main ke rumah. Nanti kalu dia tahu keadaan rumah dia tak mau berteman lagi denganku bagaimana? Dan apa ibu tak akan marah? Lagian apa kata tetangga nanti? Aku tak ingin hal ini menjadi bahan pembicaraan warga lingkungan tempat tinggalku. Karena jika itu terjadi, bisa kacau semua. Kalau di pembuat berita bilang A, eh ternyata sampai ke kuping udah Z.
        Rupanya kak Raka seorang yang keras kepala. Dia terus berkeras ingin kerumah. Sudah kujelaskan panjang lebar masih tak didengarkan. Kesal bercampur bingung berkecamuk dalam batinku. Dari pada berkepanjangan aku memilih untuk menurut saja. Apa yang terjadi nanti, fikirkan selanjutnya.
        Mudah untuknya untuk bisa dekat dengan Ibu dan Anggi, terlebih lagi karena Anggi pernah bertemu sebelunnya dengannya. Mereka berbicara panjang lebar. Ibu banyak bercerita tentang aku pada kak Raka. Sesekali mereka tertawa, mungkin lucu. Tapi ternyata ada maksud lain di balik ini semua. Dia meminta izin ibu untuk menjadikanku sebagai kekasihnya. Kurasa saat itu aku hampir pingsan.
       Ada kesepakatan antara kami untuk tidak mengumbar berita ini. Kalau pun orang lain mengetahui hal ini, biarlah mereka mereka tahu dengan sendirinya. Tapi tak disangka, dinding pun dapat berbicara. Sebulan hubungan itu berjalan, teman-teman sekelas maupun yang tak sekelas mengetahuinya bahkan hampir satu sekolah. Yang di cemaskan menjadi kenyataan.
        Satu kata yang kurasakan “MALU.” Claudya yang selama ini terkenal sangat jutek dengan yang namanya Pak Dewa kok bisa pacaran. Ada juga yang yang berpendapat kalau dunia sebentar lagi bakalan kiamat. Dan satu lagi yang terpenting, berita ini sudah sampai ke telinga kak Siska. Waduh, makin gawat. Tapi ternyata tak ada sesuatu yang terjadi.
         Setengah tahun hubungan berjalan. Dia mengajakku ke rumahnya untuk bertemu sang Mama. Waduh, apa lagi ini. Bagaimana kalau aku tak di terima terus di suruh Putus. Wah, menjaga hubungan sampai sebegitu lama kan gak mudah. Sayang sekali kalau harus berakhir gitu aja. Apalagi ini pengalaman pertama untukku. Sangat tak enak jika harus berakhir hanya karena itu. Sangat tak berkesan!
        Kulangkahkan kaki kecilku memasuki sebuah rumah yang cukup luas. Berharap sang empunya menerima kedatanganku dengan senang hati. Dan tidak langsung menyuruhku segera keluar. Sementara kak Raka ke mencari mamanya aku memilih untuk duduk manis. Sebisa menungkin aku harus menunjukkan sikap yang sopan seperti pesan ibu sebelum berangkat tadi.
        Tak lama muncullah seorang Wanita paruh baya yang cantik beserta sang anak yang setia menggandengnya dari arah dapur. Sungguh pemandangan yang sangat langka. Pemandangan ini hanya bisa ku dapat di sini. Seorang Raka Dewantara ternyata seorang anak mama yang sangat manja. Tapi wajar juga, karena dia itu seorang anak tunggal.
       Wanita itu tersenyum ke arahku. Tampaknya hari ini akan berjalan baik dan akan menyenangkan. Dengan senyumnya dia menyambutku. Wanita ramah itu adalah mama kak Raka. Tante Rima! Ya namanya tante Rima, Rima Setiawaty.
       Ternyata saat itu tente Rima sedang belajar membuat brownis. Rasanya kebetulan banget, aku juga suka sekali memasak makanan yang satu ini. Nah berangkat dari situlah hubungan itu semakin kuat karena tante Rima simpatik terhadapku. Bahkan dengan tak terduga dia menyuruhku untuk memanggilnya dengan sebutan “MAMA.” Menyenangkan bukan. Bahkan aku menjadi lebih manja ketimbang kak Raka.
        Walau begitu bukan berarti kita tak pernah mengalami yang pasangan lain alami. Sering kita mengalami yang namanya saling cemburu, terus dilanjutkan dengan saling ngambek, ujung-ujungnya berantem terus nangis deh. Setelah itu bakal ada salah satu yang mengalah. Terjadilah yang namanya drama telenovela. Saling membujuk, saling rayu, gobalisme, perjanjian, trus baikan. Begitu selanjutnya. Tapi ya, dibalik wajah tegarnya itu ternyata dia mudah banget buat nangis. Tante Rima yang cerita. Dia itu paling nurut sama mamanya.
        Lama kami bersama, sesorang datang kembali kekehidupan kak Raka . Namanya Lenny, orangnya cantik banget. Menurut penuturan kak Raka sendiri, kak Lenny itu mantannya, tepatnya mantan terindah dia sekaligus mantan terlama. Tapi aku gak ambil pusing, karena mereka hanya sudah mantan. Gak ada hubungan apa pun. Kalau pun ada ya teman. Aku masih jauh percaya sama Kak Raka.
       Tapi kok makin ke sininya makin gak enak gimana gitu. Kak Raka jadi lebih banyak menghabiskan waktunya bersama sang mantan. Kalau biasanya Kak Raka rajin banget datang ke rumah untuk memberikan les tambahan ke Anggi. Ini kok untuk singgah sebentar aja gak sempat lagi. Wah mulai curiga nih. Jangan-jangan ada apa-apa nih? Saat itu antara fikiran dan hatiku udah gak sejalan. Galau!
      “Clau, nanti pulang kuliah kamu gak kemana-mana kan?” itulah pertanyaan kak Raka saat kami di perjalanan menuju kampus. Claudya sang anak SMA kini sudah menjadi anak kuliahan. Udah semester 6 pula. Berarti hubungan kami sudah berjalan hampir 4 tahun.
       “Hmm, sampai sekarang sih gak ada kak” jawabku santai.
       “Kita ke rumah makan mbok Iyem yuk, dah lama nih gak ke sana bareng kamu.” Katanya masih fokus pada jalan yang ada di depannya.
       “Aku sih ikut aja, tapi apa kakak gak ada acara lain? Nanti kayak kemaren-kemaren. Aku males kak kalo harus di janjiin harapan kosong.” Kataku cuek. Terdengar hembusan nafas panjang darinya.
       “Kali ini beneran deh, kaka janji. Kamu bisa gelitikin kakak sepuas kamu kalo kakak batalin janji lagi.” janjinya.
        “Emang ada ya hukuman kayak gitu. Itu suh bukan hukuman kak!” protesku disambut gelak tawanya.
         Kak Raka  menepati janjinya. Rumah makan mbok Iyem, di situlah kami kembali mengingat beberapa momen yang sudah jarang terjadi. Selain itu aku juga udah kangen sama makanya di situ. Enak sih.
        “Nak Clau kemana aja kemarin-kemarin. Kok gak pernah kelihatan? Kalau Raka sih masih sering kesini, bareng sama... sama.. Len, Len, Lena. Lenny. Iya Lenny!” tiba-tiba mbok Iyem menghampiri kami yang sedang asik makan sambil ngobrol tentunya.
        Terkejut.
       Belakangan kak Raka selalu memberi alasan yang bermacam-macam saat kuajak kemanapun. Curiga ku makin bertambah. Bertambah rasa kesal dan sedikit kecewa. Tapi aku berusaha untuk tidak  menunjukkannya di hadapan mbok Iyem dan beberapa orang di sana. Karena bukan hanya aku saja yang bakal malu, tapi juga kak Raka.
        Tersenyum.
        Itu yang kulakukan untuk menjawab pertanyaan dari Mbok Iyem.
        “Iya mbok, belakangan ini aku sibuk. Kan meja hijau udah dekat,” kataku
        “Iya, iya. Berarti udah mau selesai dong kuliahnya.” Kata mbok Iyem lagi.
        “Doakan saja ya mbok,” kataku lagi.
        “Selesai kuliah langsung kerja atau menunggu” goda mbok Iyem.
         Kak Raka tertawa mendengar itu.  Apaan nih maksudnya? Kok sewaktu mendengar itu kak Raka langsung ketawa. Sepertinya kata-kata mbok Iyem ada yang belum bisa ku cerna dengan baik.
        “Kalau aku sih mau aja mbok. Sekarang juga boleh, cuma dianya masih jual mahal. Haha..” kak Raka menjawab pertanyaan mbok Iyem dan diakhiri dengan gelak tawanya juga tawa mbok Iyem.
        Pembicaraan itu menjadi semakin panjang lebar dan makin ngawur. Dan taukan apa yang aku fikirkan saat itu? Aku tak memikirkan apapun. Aku hanya memasang tampang luguku. Melihat tampang polosku saat mendengar pembicaraan mereka kak Raka lantas menjelaskan apa inti dari pembicaraan itu.
       “Nggak! Apaan? Aku masih mau berkarier dulu. Percuma dong kuliah 3 tahun dan bergelar Amd kalau ujung-ujungnya langsung ke dapur. Aku itu belum bisa berbuat apa-apa untuk mama dan Anggi! Lagian Anggi itu belum selesai sekolahnya.” sergahku kemudian.
       “Hahaha... udah dengar dari orangnya langsung kan mbok,” tanya kak Raka memastikan.
       “Yo wes, jangan ngambek gitu.” Kata mbok Iyem membujukku.
       Selesai makan kami memutuskan untuk langsung pulang. Sudah terlalu lama kami di sini. Sepanjang perjalanan aku terus diam, memikirkan apa yang mbok Iyem bilang tadi. Kak Raka sering makan bareng kak Lenny? Tapi kenapa waktu aku mengajak selalu alasan yang kuterima. Aku mencoba untuk tetap berfikir positif. Barangkali mereka kebetulan bertemu.
       Menjelang malam hari aku masih memikirkan hal itu. Seberapa besar pun aku berusaha untuk tidak memikirkannya. Sebesar itu juga rasa penasaran menghantui fikiranku. Akhirnya kuputuskan untuk tidur. Belum sempat aku terlelap, sebuah pesan masuk ke ponselku. Pesan yang menyuruhku untuk segera mengakhiri hubunganku dengan kak Raka. Apa-apaan ini, seenaknya saja. Emangnya dia siapa? Tante Rima saja tak melarang. Karna merasa tak penting kuabaikan pesan singkat itu.
       Menjelang pagi kutemukan 3 pesan singkat dari orang yang sama dengan tadi malam. Isinya bukan lagi menyuruhku untuk memutuskan kak Raka tapi utuk datang ke warusng mbok Iyem pukul 3 sore ini. Kembali kuabaikan pesan itu. Sangat tak penting! Tapi hati ini kembali gelisah, terfikir akan pesan itu. Perasaan ku tak enak. Ada inisiatif untuk menghubungi kak Raka, tapi aku takun mengganggunya. Maklum saja, dia masih baru bekerja sebagai seorang dosen muda di salah satu Universitas swasta di kota ini. Karna terus gelisah, akhirnya kuputuskan untuk menghubunginya tapi tampaknya dia sibuk. Entah siapa yang sedang di hubunginya. Terus aku menghubungi tapi tetap saja sibuk.
       Mata kuliah hari itu pun terlewatkan begitu saja. Daripada gelisah gak menentu begitu aku akhirnya mengikuti kemauan si pengirima pesan yang gak jelas itu. Sepulang kuliah aku langsung menuju warung mbok Iyem, tapi tak ada satu pun yang mencurigakan di sana. Hanya ada Mbok Iyem, pekerjanya dan beberapa orangyang sedang makan. Akhirnya kuputuskan untuk pulang, kasihan Anggi sendiri di rumah. Belum sampai jauh aku melangkah, mataku tertuju pada dua orang yang turun dari sebuah motor. Dua sejoli yang sangat mesra. Sang wanita menggandeng lengan orang di sampingnya. Melihat itu rasa kecewaku sekaligus amarahku memuncak. Kalau di hari yang lalu aku bisa meredam emosiku. Tapi tidak kali ini.
       “Aku fikir kakak beneran sibuk dengan pekerjaan kakak yang sekarang. Tapi ternyata, dugaanku salah besar. Dari awal aku udah curiga dengan kesibukan kakak yang sekarang. Kakak selalu kasih aku alasan yang bermacam-macam. Aku masih maklum kak. Sebenarnya mau kakak apa sih?” tanyaku padanya dengan air mata yang berlomba-lomba ingin keluar.
      “Ini tidak seperti yang kamu fikirkan, ini semua salah faham,” katanya membela diri.
      “ALASAN!!! Salah faham apa kak? Kakak mesra-mesraan begitu di bilang salah faham? Semuanya udah jelas kali kak. Sekarang aku tanya, mau kakak sekarang apa? Apa kakak memang udah bosan sama aku. Kalau iya, aku terima. Tapi bukan begini caranya, masih adakan cara yang lebih baik dari pada ini? Ya, setidaknya bisa membuat aku mengerti.” Kataku lagi tak memperdulikan dia yang berusaha memberikan penjelasan.
       “Tapi Clau...” katanya tapi langsung kupotong, aku muak mendengarnya,
       “Udahlah kak, gak usah di perdebatkan lagi, semuanya udah cukup” kataku dingin tanpa melihat wajahnya.
        Segera kuhapus air mataku dan berajak dari tepat itu. Lebih baik aku segera pulang. Masih banyak yang harus kulakukan di rumah.
        Dua minggu lamanya aku tak menemuinya dan menghubunginya. Seketika itu juga banyak pesan singkat yang masuk ke ponselku. Semuanya dari orang yang sama. Kak Raka. Isinya sama juga, penjelasan tentang kejadian itu. Memang asaat itu aku sangat merindukannya tapi aku masih kecewa. Tak lama sebuah panggilan datang dari tante Rima. Intinya dia memintaku untuk datang kerumahnya untuk menceritakan apa yang terjadi dan melihat kondisi kak Raka. Karena tante Rima yang meminta akhirnya aku mau.
        “Kalau ada masalah itu ya di selesaikan dengan kepala dingin. Kalian kan udah sama-sama dewasa. Dan hubungan kalian juga udah lama sekali. Rasanya sanyang kalau harus berakhir karena hal ini.” tante Rima menasehatiku panjang lebar.
        Tak lama kak Raka pulang dengan tas ransel di punggungnya. Tampaknya sangat lelah sekali. Rasanya ingin aku menghampirinya dan mengambilkan teh untuknya. Tapi aku masih malas. Walau begitu, raut wajah  lelahnya hilang saat melihatku tengah mengobrol dengan mamanya. Dia langsung menghampiriku dan merangkulku. Tak tahukan dia aku masih ngambek.
         Tante Rima kembali bercerita dan memberikan kami beberapa nasihat. Memang benar apa yang dikatakan oleh beliau, tak seharusnya aku begini. Tapi bukan aku saja yang ditegur melainkan kaka Raka juga, bahkan lebih keras. Dan diujung dari pembicaraan itu tante Rima menanyakan keseriusan kami. Ya jelas dong kami serius, kalau tidak untuk apa dipertahankan sampai bertahun-tahun. Dan kalian tau apa yang dikatakannya sesudah kami menjawab pertanyaan itu? Dia menyuruh kami untuk segera melangkahkan kaki ke jenjang yang lebih serius.
        Bukan menolak juga sih, tapi lebih tepatnya aku masih mau bebas dulu. Aku mau membuat mama bahagia dulu. Aku ingin mama merasakan hasil jerih payahku. Juga hasil kerja keras mama menyekolahkanku. Aku tak ingin di ketkan sebagai anak yang durhaka.
         Selama 2 bulan terakhir tente Rima terus menanyakan hal yang sama, tapi jawabku masih sama. Sampai suatu saat kami bertemu lagi. Aku dan tante Rima.
         “Kalau kamu memang tidak serius dengan anak saya ya sudah. Saya juga sudah punya orang yang tepat. Yang pastinya dia lebih baik dari kamu dan saya juga sudah jauh lebih kenal dia dari kamu. Atau memang benar apa yang dikatakan Lenny kamu hanya memanfaatkan Raka??” ucap tante Rima dengan marahnya.
        Apa lagi ini? Kok jadi begini? Terus apa kaitanya dengan Lenny. Hah! Sungguh membingungkan.
        “Sekarang saya mau tanya sama kamu sekali lagi. Kamu serius dengan anak saya? Kalau iya, segera kalian resmikan hubungan kalian di depan saksi.” Kata tante Rima lagi.
         Kembali kukatakan hal yang sama seperti yang kukatakan sebelumnya. Tampak kekecewaan di wajah wanita paruh baya itu. Akhirnya dia pergi meninggalkanku sendiri dengan seribu tanda tanya.
          Beberapa bulan terlalui. Tak ada kejelasan tentang masalah ini. Tak ada lagi kabar dan berita dari kak Raka. Berkali-kali aku mendatangi rumahnya tetapi hanya ada dua pembantunya disana. Bik Inah dan lek Onno. Katika kutanya kemana, selalu saja mereka menjawab pergi kesanalah, pergi kesinilah. Gak jelas. Padahal saat itu aku sangat butuh dukungan darinya. Meja hijau sudah semakin dekat. Hatiku semakin tak tenang.
         Kucoba untuk menghubunginya sekali lagi dan terdengan suara yang sangat kurindu dari seberang sana. Akhirnya kami bertemu. Tak ku sia-siakan momen itu.  Segala sesuatu yang kutakutkan dan kucemaskan kuceritakan padanya. Termasuk juga tentang pertemuanku dengan mamanya. Saat mendengar hal itu dia menjadi diam. Tak ada sepetah katapun keluar dari mulitnya. Apa lagi ini?adakan yang dia sembunyikan dariku. Biasanya dia selalu tertawa lepas saat aku bercerita.
         Kalau biasanya dia langsung mengantarku pulang. Atau paling tidak singgah dulu ke warung mbok Iyem. Kali ini terasa berbeda, dia mengajakku ke suatu tempat yang baru saat ini ku kunjungi. Kami pun pulang sampai larut malam. Mama juga sempat marah.
        Peristiwa sama terjadi kembali, selama berhari-hari bahkan bermingu-minggu dia hilang kembali. Hari itu Meja Hijau, penentu hasil perkuliahanku selama 3 tahun ini. dan kalian harus tahu, aku menghadapinya dengan segala beban yang ada. Tak sia-sia, persentaseku berhasil dan dinyatakan lulus. Pulang dengan kebahagiaan.       
          Satu pesan masuk, hatiku senang gak kepalang. Kak Raka kembali mengajakku untuk bertemu. Di tempat pertama kami bertemu, di taman bermain.
         “Sebelumnya kak mau bilang selamat. Kamu udah lulus.” Katanya perlahan membuatku tak sabaran.
         “Sama-sama kak, ini juga karena kakak, dan aku juga udah memikirkan apa yang di tanyakan mama kakak. Aku setuju, lagian aku juga masih tetap bisa bekerja, kakak kan perna bilang tak akan melarangku untuk bekerja.” Kataku dengan riangnya.
        Tanpa kusadari mata kak Raka sudah memerah. Air matanya sudah berlomba ingin keluar.
     “Maafkan aku, aku udah sembunyikan ini. dan aku harap kamu bisa terima,” ucapnya lagi sambil menyerahkan sebuah undangan  berpita coklat.
         Saat kubuka, betapa terkejutnya aku dengan nama yang tertera di dalamnya. Raka dan Lenny. Dada ini terasa sesak. Air matapun keluar dengan sendirinya. Kutoleh kearahnya, dia juga menangis sambil menundukkan kepalanya.
        “Jadi, besok??” tanyaku, dia hanya mengangguk.
        “Selamat ya kak, aku bakal datang kok besok,” kataku lagi sambil menegarkan hatiku.
        “Jangan!” katanya.
        “Kenapa? Itu peristiwa penting.” Kataku lagi.
        Saat itu kami kembali mengenang masa lalu. Lama setelah itu dia mengajakku untuk makan ke Warung mbok Iyem, mungkin untuk terakhir kalinya. Tepat 4 tahun hubungan itu harus berkhir dengan pahit. 10 September 2008 – 10 september 2012. Semoga dia bahagia.

SELESAI