Walau bulan september udah berlalu, sepertinya tak salah kalau membaca cerpen yang satu ini. awalnya cerpen ini cerpen yang aku ikut sertakan di kompetisi menulis di salah satu penerbit yang lumayan famous. Cuma karna udah pasti kalah karena akunya salah alamt email ya sudahlah, tak ada salahnya untuk berbagi. Selamat membaca
SEPTEMBER KELABU
Kata orang bulan sepetember itu
menyenangkan. Bagiku tidak, bukan hanya menyenangkan tapi juga menyedihkana.
Halmini bisa ku jelaskan dalam kisahku.
Sampai sekarang aku masih merasa seakan semua ini
hanya mimpi disiang bolong. Semuanya terjadi begitu cepat, bahkan sangat cepat.
Padahal baru beberapa minggu yang lau kami bertemu, dan semuanya masih baik-baik
saja. Tak ada masalah diantara kami. Semua masih seperti sedia kala. Apa ini
akibat dari keegoisanku dan keras kepalaku.
Kalau awalnya aku tahu hal ini akan
terjadi mungkin aku akan kembali memikirkan keputusan ini. Niatku
memperjuangkan masa depanku ternyata merusak hal sesuatu yang telah kuperjuangkan
selama bertahun-tahun. Yang kusesalkan adalah mengapa pilihan itu diperhadapkan
padaku. Mengapa bukan orang lain yang merasakannya. Mengapa aku yang harus
menanggung kesakitan ini.
Aku masih termenung sendiri di tempat
ini. Menatap sebuah kertas berpita coklat. Selembar kertas pertanda berakhirnya
hubungan yang mati-matian diperjuangkan. Sekuat tenaga ku tahan bulir-bulir
bening ini menetes. Aku tak ingin terlihat lemah di pesta bersejarah itu.
Sebuat upacara terpenting dalam hidupnya. Hal yang terjadi hanya sekali dalam
seumur hidup setiap manusia.
Lama aku duduk di sini, di tempat pertama
kali kami bertemu. Sebuah peristiwa lucu dan manis untuk di buang begitu saja.
Tapi rasanya bagitu pahit untuk di ingat-ingat kembali. Kesalahfahaman yang
menimbulkan rasa diantara dua insan yang berbeda. Mungkin saat ini sesimpul
senyuman terlukis di wajah ovalku.
Saat itu aku hanya murid seorang SMA
yang kelabakan karena sang adik menghilang entah kemana. Bocah perempuan
berumur 5 tahun ini tak ada di tempat saat aku kembali membawakan ice cream
permintaannya. Saat itu rasanya aku sudah bolak-balik berkeliling taman bermain
ini untuk mencarinya. Tapi entah kenapa dia tak kunjung ketemu juga. Rasanya
sudah sangat lelah. Belum lagi saat itu cuaca tampaknya tak menujukkan suatu
keakraban, langit mulai menurunkan bulir-bulirnya. Dalam keadaan panik aku
terus mencari sampai hujan turun dengan derasnya. Dan tak bisa terelakan lagi,
badanku yang masih terbalut seragam ini mau tak mau harus basah.
Saat itu dari kejauhan kulihat
seorang lelaki yang tampaknya sedang bergurau dengan seorang anak kecil. Aku
tak mengenal lelaki itu, tetapi anak yang bersamanya aku hafal jelas siapa dia.
Dengan langkah terburu-buru aku langsung menghampiri mereka. Dengan wajah cemas
bercampur kesal. Sudah lelah aku mencari ternyata dia bersama orang lain yang
tek pernah dikenal sebelumnya. Dengan segera
kutarik tangannya, tapi entah mengapa dia malah menangis. Karena kaget atas
perbuatanku, sang pemuda yang tadinya masih tertawa seketika itu juga diam.
Mungkin dia berfikir aku adalah orang yang kasar dan sangat tak bersahabat.
Dengan seenaknya aku malah memarahinya habis-habisan, padahal aku tak tahu apa
yang sudah terjadi. Tapi sesaat kemudian di tersenyum padaku.
Pemuda berkacamata itu dengan sabar
menjelaskan padaku. Tak terlihat raut wajah emosi di wajahnya. Yang ada hanya
sebuah senyuman ikhlas. Dan tutur kata yang bersahabat. Tampaknya dia seorang
yang berpendidikan. Bisa dilihat dengantuturnya yang sopan. Kini dia malah merunduk,
menyamakan tingginya dengan tinggi Anggi. Mengusap-usap kepalanya. Membujuk
Anggi agar tak menangis lagi.
Kira-kira sebulan kemudian aku bertemu kembali
dengannya, tapi bukan lagi di Taman Bermain seperti saat itu. Ternyata dia
kebagian tugas Praktek Kerja Lapangan
dari kampusnya selama kurang lebih dua setengah bulan di sekolahku. Sempat ada
rasa malu saat berpapasan dengannya. Saat itu aku berharap dia takkan masuk ke
kelasku. Tapi mungkin Doaku tak dikabulkan Tuhan. Seminggu tiga kali dia
menggantikan posisi guru Fisika di kelasku. Di kelas XI IPA-3, kelasnya
orang-orang gokil alias gila alias stres.
Selama masa itu, aku mungkin bisa dibilang
sebagai murid paling ngeselin. Bagaimana tidak, selama dia menjelaskan aku
terus-menerus mengajukan
pertanyaan-pertanyaan dan protes-protes. Beginilah begitulah, kurang inilah
kurang itulah, kritik inilah kritik itulah. Mungkin dia sudah tahan mental
dengan yang seperti ini. Sebelum menjawab pertanyaanku dia tersenyum terlebih
dahulu baru menjelaskan sampai sejelas-jelasnya.
Bahkan pernah ada rekannya yang tak
sengaja memperhatikan kondisi saat dia mengajar hanya bisa geleng kepala.
Teman-teman juga kerap menegurku. Ya bagaimana lagi, dari awal bertemu aku
sudah bersikap jutek, jadi ya di terusin saja. Agak jaim sedikit gak apa kali
ya? Bahkan aku baru menegetahui namanya saja di akhir-akrir masa praktenya. Raka
Dewantara. Itulah nama lengkapnya, oleh temen-teman sering di panggil Pak Dewa.
Tapi kalau aku manggilnya Pak Raka.
Saat masa prakteknya selesai pun aku
tak ada respon apa-apa. Hanya menyalamnya dan mengucap sepatah kalimat yaitu
“Maaf! Semoga Sukses!” Saat itu pun aku tak sekilas menatap wajahnya. Maksudku
ingin segera beralih menjabat tangan yang lainnya tapi dia malah menahannya.
Kembali senyuman terlukis di wajahnya.
“Maaf pak, temen-temen yang lain juga
mau giliran.” Kataku cuek.
Saat itu juga terasa olehku kalau kaki
kananku dengan sengeja di pijak oleh Rika, sahabatku dari kecil. Seketika itu
juga aku meringis. Terdengar tawa kecil darinya, sesekali temannya seperjuangan
berbisik-bisik. Mungkin saat itu mereka sedang membicarakan kejutekanku. Karna
udah terlajur malu, daripada jadi salah tingkah gak jelas mending kabur.
Beberapa waktu perpisahan itu, aku tak
pernah bertemu lagi dengannya. Baik di sekolah, di taman bermain atau di mana
saja. Ya aku merasa Puji Tuhan banget gak pernah ketemulagi. Tapi kelegaan itu
gak bertahan lama. Keesokan harinya aku bertemu lagi dengannya saat dia di
terminal Bus. Waktu itu aku lagi menjemput saudara yang katanya ada keperluan
di sini. Saat itu aku berharap tak bertemu dengannya, aku mencoba menghindar.
Tapi terlambat, dia udah melihat wajahku.
“Claudya Anastasya kan?” tanyanya saat
dia sudah di hadapanku.
“Ia pak.” Jawabku singkat
sesingkat-singkatnya.
“Sombong banget sekarang.” Katanya
lagi padaku.
Itulah yang keluar dari mulutnya.
Menjengkelkan bukan? Dia yang sudah lama gak kelihatan batang hidungnya, malah
dia yang ngeledek sombong. Gak kebalik tuh. Dan ujung-ujungnya dia menyuruhku
untuk memanggilnya dengan sebutan KAKAK!
Apa lagi ini. kalau begini terus aku
bisa pingsan di tempat. Karna gak tahu harus gimana menanggapinya, ya akhirnya
aku harus mengeluarkan jurus terakhir “Nyengir Kuda.”
Singkat cerita, entah kenapa kami
menjadi semakin dekat. Aku saja sampai pusing untuk mencari sebab musabab
kedekatan kami itu. Tapi tak banyak yang mengetahui hal ini. Karena ku lebih
memilih untuk tidak bercerita alias bungkam. Bahkan ke Rika pun tidak. Sebab
jika Rika mengetahui hal ini sudah dipastikan dia akan menceritakannya pada
teman-teman. Terutama pada Siska, seorang kakak kakak kelas yang sangat
tergila-gila pada kak Raka. Bisa rusak reputasiku sebagai murid paling jutek.
Haha..
Sampai suatu saat dia berkeras ingin sekedar
main ke rumah. Terkejut sih iya, sejak kapan dia mau main ke rumah. Nanti kalu
dia tahu keadaan rumah dia tak mau berteman lagi denganku bagaimana? Dan apa
ibu tak akan marah? Lagian apa kata tetangga nanti? Aku tak ingin hal ini
menjadi bahan pembicaraan warga lingkungan tempat tinggalku. Karena jika itu
terjadi, bisa kacau semua. Kalau di pembuat berita bilang A, eh ternyata sampai
ke kuping udah Z.
Rupanya kak Raka seorang yang keras
kepala. Dia terus berkeras ingin kerumah. Sudah kujelaskan panjang lebar masih
tak didengarkan. Kesal bercampur bingung berkecamuk dalam batinku. Dari pada
berkepanjangan aku memilih untuk menurut saja. Apa yang terjadi nanti, fikirkan
selanjutnya.
Mudah untuknya untuk bisa dekat dengan
Ibu dan Anggi, terlebih lagi karena Anggi pernah bertemu sebelunnya dengannya.
Mereka berbicara panjang lebar. Ibu banyak bercerita tentang aku pada kak Raka.
Sesekali mereka tertawa, mungkin lucu. Tapi ternyata ada maksud lain di balik
ini semua. Dia meminta izin ibu untuk menjadikanku sebagai kekasihnya. Kurasa
saat itu aku hampir pingsan.
Ada kesepakatan antara kami untuk tidak
mengumbar berita ini. Kalau pun orang lain mengetahui hal ini, biarlah mereka
mereka tahu dengan sendirinya. Tapi tak disangka, dinding pun dapat berbicara.
Sebulan hubungan itu berjalan, teman-teman sekelas maupun yang tak sekelas
mengetahuinya bahkan hampir satu sekolah. Yang di cemaskan menjadi kenyataan.
Satu kata yang kurasakan “MALU.”
Claudya yang selama ini terkenal sangat jutek dengan yang namanya Pak Dewa kok
bisa pacaran. Ada juga yang yang berpendapat kalau dunia sebentar lagi bakalan
kiamat. Dan satu lagi yang terpenting, berita ini sudah sampai ke telinga kak
Siska. Waduh, makin gawat. Tapi ternyata tak ada sesuatu yang terjadi.
Setengah tahun hubungan berjalan. Dia
mengajakku ke rumahnya untuk bertemu sang Mama. Waduh, apa lagi ini. Bagaimana
kalau aku tak di terima terus di suruh Putus. Wah, menjaga hubungan sampai
sebegitu lama kan gak mudah. Sayang sekali kalau harus berakhir gitu aja. Apalagi
ini pengalaman pertama untukku. Sangat tak enak jika harus berakhir hanya
karena itu. Sangat tak berkesan!
Kulangkahkan kaki kecilku memasuki
sebuah rumah yang cukup luas. Berharap sang empunya menerima kedatanganku
dengan senang hati. Dan tidak langsung menyuruhku segera keluar. Sementara kak
Raka ke mencari mamanya aku memilih untuk duduk manis. Sebisa menungkin aku
harus menunjukkan sikap yang sopan seperti pesan ibu sebelum berangkat tadi.
Tak lama muncullah seorang Wanita paruh
baya yang cantik beserta sang anak yang setia menggandengnya dari arah dapur.
Sungguh pemandangan yang sangat langka. Pemandangan ini hanya bisa ku dapat di
sini. Seorang Raka Dewantara ternyata seorang anak mama yang sangat manja. Tapi
wajar juga, karena dia itu seorang anak tunggal.
Wanita
itu tersenyum ke arahku. Tampaknya hari ini akan berjalan baik dan akan
menyenangkan. Dengan senyumnya dia menyambutku. Wanita ramah itu adalah mama
kak Raka. Tante Rima! Ya namanya tante Rima, Rima Setiawaty.
Ternyata saat itu tente Rima sedang belajar
membuat brownis. Rasanya kebetulan banget, aku juga suka sekali memasak makanan
yang satu ini. Nah berangkat dari situlah hubungan itu semakin kuat karena
tante Rima simpatik terhadapku. Bahkan dengan tak terduga dia menyuruhku untuk
memanggilnya dengan sebutan “MAMA.” Menyenangkan bukan. Bahkan aku menjadi
lebih manja ketimbang kak Raka.
Walau begitu bukan berarti kita tak pernah
mengalami yang pasangan lain alami. Sering kita mengalami yang namanya saling
cemburu, terus dilanjutkan dengan saling ngambek, ujung-ujungnya berantem terus
nangis deh. Setelah itu bakal ada salah satu yang mengalah. Terjadilah yang
namanya drama telenovela. Saling membujuk, saling rayu, gobalisme, perjanjian,
trus baikan. Begitu selanjutnya. Tapi ya, dibalik wajah tegarnya itu ternyata
dia mudah banget buat nangis. Tante Rima yang cerita. Dia itu paling nurut sama
mamanya.
Lama kami bersama, sesorang datang kembali
kekehidupan kak Raka . Namanya Lenny, orangnya cantik banget. Menurut penuturan
kak Raka sendiri, kak Lenny itu mantannya, tepatnya mantan terindah dia
sekaligus mantan terlama. Tapi aku gak ambil pusing, karena mereka hanya sudah
mantan. Gak ada hubungan apa pun. Kalau pun ada ya teman. Aku masih jauh
percaya sama Kak Raka.
Tapi kok makin ke sininya makin gak enak
gimana gitu. Kak Raka jadi lebih banyak menghabiskan waktunya bersama sang
mantan. Kalau biasanya Kak Raka rajin banget datang ke rumah untuk memberikan
les tambahan ke Anggi. Ini kok untuk singgah sebentar aja gak sempat lagi. Wah
mulai curiga nih. Jangan-jangan ada apa-apa nih? Saat itu antara fikiran dan
hatiku udah gak sejalan. Galau!
“Clau, nanti pulang kuliah kamu gak
kemana-mana kan?” itulah pertanyaan kak Raka saat kami di perjalanan menuju
kampus. Claudya sang anak SMA kini sudah menjadi anak kuliahan. Udah semester 6
pula. Berarti hubungan kami sudah berjalan hampir 4 tahun.
“Hmm, sampai sekarang sih gak ada kak” jawabku
santai.
“Kita ke rumah makan mbok Iyem yuk, dah
lama nih gak ke sana bareng kamu.” Katanya masih fokus pada jalan yang ada di
depannya.
“Aku sih ikut aja, tapi apa kakak gak
ada acara lain? Nanti kayak kemaren-kemaren. Aku males kak kalo harus di
janjiin harapan kosong.” Kataku cuek. Terdengar hembusan nafas panjang darinya.
“Kali ini beneran deh, kaka janji. Kamu
bisa gelitikin kakak sepuas kamu kalo kakak batalin janji lagi.” janjinya.
“Emang ada ya hukuman kayak gitu. Itu
suh bukan hukuman kak!” protesku disambut gelak tawanya.
Kak Raka menepati janjinya. Rumah makan mbok Iyem, di
situlah kami kembali mengingat beberapa momen yang sudah jarang terjadi. Selain
itu aku juga udah kangen sama makanya di situ. Enak sih.
“Nak Clau kemana aja kemarin-kemarin.
Kok gak pernah kelihatan? Kalau Raka sih masih sering kesini, bareng sama...
sama.. Len, Len, Lena. Lenny. Iya Lenny!” tiba-tiba mbok Iyem menghampiri kami
yang sedang asik makan sambil ngobrol tentunya.
Terkejut.
Belakangan kak Raka selalu memberi
alasan yang bermacam-macam saat kuajak kemanapun. Curiga ku makin bertambah.
Bertambah rasa kesal dan sedikit kecewa. Tapi aku berusaha untuk tidak menunjukkannya di hadapan mbok Iyem dan
beberapa orang di sana. Karena bukan hanya aku saja yang bakal malu, tapi juga
kak Raka.
Tersenyum.
Itu yang kulakukan untuk menjawab
pertanyaan dari Mbok Iyem.
“Iya mbok, belakangan ini aku sibuk. Kan
meja hijau udah dekat,” kataku
“Iya, iya. Berarti udah mau selesai
dong kuliahnya.” Kata mbok Iyem lagi.
“Doakan saja ya mbok,” kataku lagi.
“Selesai kuliah langsung kerja atau
menunggu” goda mbok Iyem.
Kak Raka tertawa mendengar itu. Apaan nih maksudnya? Kok sewaktu mendengar itu
kak Raka langsung ketawa. Sepertinya kata-kata mbok Iyem ada yang belum bisa ku
cerna dengan baik.
“Kalau aku sih mau aja mbok. Sekarang
juga boleh, cuma dianya masih jual mahal. Haha..” kak Raka menjawab pertanyaan
mbok Iyem dan diakhiri dengan gelak tawanya juga tawa mbok Iyem.
Pembicaraan itu menjadi semakin panjang
lebar dan makin ngawur. Dan taukan apa yang aku fikirkan saat itu? Aku tak
memikirkan apapun. Aku hanya memasang tampang luguku. Melihat tampang polosku
saat mendengar pembicaraan mereka kak Raka lantas menjelaskan apa inti dari
pembicaraan itu.
“Nggak! Apaan? Aku masih mau berkarier
dulu. Percuma dong kuliah 3 tahun dan bergelar Amd kalau ujung-ujungnya
langsung ke dapur. Aku itu belum bisa berbuat apa-apa untuk mama dan Anggi!
Lagian Anggi itu belum selesai sekolahnya.” sergahku kemudian.
“Hahaha... udah dengar dari orangnya
langsung kan mbok,” tanya kak Raka memastikan.
“Yo wes, jangan ngambek gitu.” Kata mbok
Iyem membujukku.
Selesai makan kami memutuskan untuk
langsung pulang. Sudah terlalu lama kami di sini. Sepanjang perjalanan aku
terus diam, memikirkan apa yang mbok Iyem bilang tadi. Kak Raka sering makan
bareng kak Lenny? Tapi kenapa waktu aku mengajak selalu alasan yang kuterima.
Aku mencoba untuk tetap berfikir positif. Barangkali mereka kebetulan bertemu.
Menjelang malam hari aku masih
memikirkan hal itu. Seberapa besar pun aku berusaha untuk tidak memikirkannya.
Sebesar itu juga rasa penasaran menghantui fikiranku. Akhirnya kuputuskan untuk
tidur. Belum sempat aku terlelap, sebuah pesan masuk ke ponselku. Pesan yang
menyuruhku untuk segera mengakhiri hubunganku dengan kak Raka. Apa-apaan ini,
seenaknya saja. Emangnya dia siapa? Tante Rima saja tak melarang. Karna merasa
tak penting kuabaikan pesan singkat itu.
Menjelang pagi kutemukan 3 pesan singkat dari
orang yang sama dengan tadi malam. Isinya bukan lagi menyuruhku untuk
memutuskan kak Raka tapi utuk datang ke warusng mbok Iyem pukul 3 sore ini. Kembali
kuabaikan pesan itu. Sangat tak penting! Tapi hati ini kembali gelisah,
terfikir akan pesan itu. Perasaan ku tak enak. Ada inisiatif untuk menghubungi
kak Raka, tapi aku takun mengganggunya. Maklum saja, dia masih baru bekerja
sebagai seorang dosen muda di salah satu Universitas swasta di kota ini. Karna
terus gelisah, akhirnya kuputuskan untuk menghubunginya tapi tampaknya dia
sibuk. Entah siapa yang sedang di hubunginya. Terus aku menghubungi tapi tetap
saja sibuk.
Mata kuliah hari itu pun terlewatkan
begitu saja. Daripada gelisah gak menentu begitu aku akhirnya mengikuti kemauan
si pengirima pesan yang gak jelas itu. Sepulang kuliah aku langsung menuju
warung mbok Iyem, tapi tak ada satu pun yang mencurigakan di sana. Hanya ada
Mbok Iyem, pekerjanya dan beberapa orangyang sedang makan. Akhirnya kuputuskan
untuk pulang, kasihan Anggi sendiri di rumah. Belum sampai jauh aku melangkah,
mataku tertuju pada dua orang yang turun dari sebuah motor. Dua sejoli yang
sangat mesra. Sang wanita menggandeng lengan orang di sampingnya. Melihat itu
rasa kecewaku sekaligus amarahku memuncak. Kalau di hari yang lalu aku bisa
meredam emosiku. Tapi tidak kali ini.
“Aku fikir kakak beneran sibuk dengan
pekerjaan kakak yang sekarang. Tapi ternyata, dugaanku salah besar. Dari awal
aku udah curiga dengan kesibukan kakak yang sekarang. Kakak selalu kasih aku
alasan yang bermacam-macam. Aku masih maklum kak. Sebenarnya mau kakak apa
sih?” tanyaku padanya dengan air mata yang berlomba-lomba ingin keluar.
“Ini tidak seperti yang kamu fikirkan,
ini semua salah faham,” katanya membela diri.
“ALASAN!!! Salah faham apa kak? Kakak
mesra-mesraan begitu di bilang salah faham? Semuanya udah jelas kali kak.
Sekarang aku tanya, mau kakak sekarang apa? Apa kakak memang udah bosan sama
aku. Kalau iya, aku terima. Tapi bukan begini caranya, masih adakan cara yang
lebih baik dari pada ini? Ya, setidaknya bisa membuat aku mengerti.” Kataku
lagi tak memperdulikan dia yang berusaha memberikan penjelasan.
“Tapi Clau...” katanya tapi langsung
kupotong, aku muak mendengarnya,
“Udahlah kak, gak usah di perdebatkan
lagi, semuanya udah cukup” kataku dingin tanpa melihat wajahnya.
Segera kuhapus air mataku dan berajak
dari tepat itu. Lebih baik aku segera pulang. Masih banyak yang harus kulakukan
di rumah.
Dua minggu lamanya aku tak menemuinya
dan menghubunginya. Seketika itu juga banyak pesan singkat yang masuk ke
ponselku. Semuanya dari orang yang sama. Kak Raka. Isinya sama juga, penjelasan
tentang kejadian itu. Memang asaat itu aku sangat merindukannya tapi aku masih
kecewa. Tak lama sebuah panggilan datang dari tante Rima. Intinya dia memintaku
untuk datang kerumahnya untuk menceritakan apa yang terjadi dan melihat kondisi
kak Raka. Karena tante Rima yang meminta akhirnya aku mau.
“Kalau ada masalah itu ya di selesaikan
dengan kepala dingin. Kalian kan udah sama-sama dewasa. Dan hubungan kalian
juga udah lama sekali. Rasanya sanyang kalau harus berakhir karena hal ini.”
tante Rima menasehatiku panjang lebar.
Tak lama kak Raka pulang dengan tas
ransel di punggungnya. Tampaknya sangat lelah sekali. Rasanya ingin aku
menghampirinya dan mengambilkan teh untuknya. Tapi aku masih malas. Walau
begitu, raut wajah lelahnya hilang saat
melihatku tengah mengobrol dengan mamanya. Dia langsung menghampiriku dan
merangkulku. Tak tahukan dia aku masih ngambek.
Tante Rima kembali bercerita dan
memberikan kami beberapa nasihat. Memang benar apa yang dikatakan oleh beliau,
tak seharusnya aku begini. Tapi bukan aku saja yang ditegur melainkan kaka Raka
juga, bahkan lebih keras. Dan diujung dari pembicaraan itu tante Rima
menanyakan keseriusan kami. Ya jelas dong kami serius, kalau tidak untuk apa
dipertahankan sampai bertahun-tahun. Dan kalian tau apa yang dikatakannya
sesudah kami menjawab pertanyaan itu? Dia menyuruh kami untuk segera
melangkahkan kaki ke jenjang yang lebih serius.
Bukan menolak juga sih, tapi lebih
tepatnya aku masih mau bebas dulu. Aku mau membuat mama bahagia dulu. Aku ingin
mama merasakan hasil jerih payahku. Juga hasil kerja keras mama
menyekolahkanku. Aku tak ingin di ketkan sebagai anak yang durhaka.
Selama 2 bulan terakhir tente Rima
terus menanyakan hal yang sama, tapi jawabku masih sama. Sampai suatu saat kami
bertemu lagi. Aku dan tante Rima.
“Kalau kamu memang tidak serius dengan
anak saya ya sudah. Saya juga sudah punya orang yang tepat. Yang pastinya dia
lebih baik dari kamu dan saya juga sudah jauh lebih kenal dia dari kamu. Atau
memang benar apa yang dikatakan Lenny kamu hanya memanfaatkan Raka??” ucap
tante Rima dengan marahnya.
Apa lagi ini? Kok jadi begini? Terus
apa kaitanya dengan Lenny. Hah! Sungguh membingungkan.
“Sekarang saya mau tanya sama kamu
sekali lagi. Kamu serius dengan anak saya? Kalau iya, segera kalian resmikan
hubungan kalian di depan saksi.” Kata tante Rima lagi.
Kembali kukatakan hal yang sama
seperti yang kukatakan sebelumnya. Tampak kekecewaan di wajah wanita paruh baya
itu. Akhirnya dia pergi meninggalkanku sendiri dengan seribu tanda tanya.
Beberapa bulan terlalui. Tak ada kejelasan
tentang masalah ini. Tak ada lagi kabar dan berita dari kak Raka. Berkali-kali
aku mendatangi rumahnya tetapi hanya ada dua pembantunya disana. Bik Inah dan
lek Onno. Katika kutanya kemana, selalu saja mereka menjawab pergi kesanalah,
pergi kesinilah. Gak jelas. Padahal saat itu aku sangat butuh dukungan darinya.
Meja hijau sudah semakin dekat. Hatiku semakin tak tenang.
Kucoba untuk menghubunginya sekali
lagi dan terdengan suara yang sangat kurindu dari seberang sana. Akhirnya kami
bertemu. Tak ku sia-siakan momen itu.
Segala sesuatu yang kutakutkan dan kucemaskan kuceritakan padanya.
Termasuk juga tentang pertemuanku dengan mamanya. Saat mendengar hal itu dia
menjadi diam. Tak ada sepetah katapun keluar dari mulitnya. Apa lagi ini?adakan
yang dia sembunyikan dariku. Biasanya dia selalu tertawa lepas saat aku
bercerita.
Kalau biasanya dia langsung
mengantarku pulang. Atau paling tidak singgah dulu ke warung mbok Iyem. Kali
ini terasa berbeda, dia mengajakku ke suatu tempat yang baru saat ini ku
kunjungi. Kami pun pulang sampai larut malam. Mama juga sempat marah.
Peristiwa sama terjadi kembali, selama
berhari-hari bahkan bermingu-minggu dia hilang kembali. Hari itu Meja Hijau,
penentu hasil perkuliahanku selama 3 tahun ini. dan kalian harus tahu, aku
menghadapinya dengan segala beban yang ada. Tak sia-sia, persentaseku berhasil
dan dinyatakan lulus. Pulang dengan kebahagiaan.
Satu pesan masuk, hatiku senang gak kepalang.
Kak Raka kembali mengajakku untuk bertemu. Di tempat pertama kami bertemu, di
taman bermain.
“Sebelumnya kak mau bilang selamat.
Kamu udah lulus.” Katanya perlahan membuatku tak sabaran.
“Sama-sama kak, ini juga karena kakak,
dan aku juga udah memikirkan apa yang di tanyakan mama kakak. Aku setuju,
lagian aku juga masih tetap bisa bekerja, kakak kan perna bilang tak akan
melarangku untuk bekerja.” Kataku dengan riangnya.
Tanpa kusadari mata kak Raka sudah
memerah. Air matanya sudah berlomba ingin keluar.
“Maafkan aku, aku udah sembunyikan ini.
dan aku harap kamu bisa terima,” ucapnya lagi sambil menyerahkan sebuah
undangan berpita coklat.
Saat kubuka, betapa terkejutnya aku
dengan nama yang tertera di dalamnya. Raka dan Lenny. Dada ini terasa sesak.
Air matapun keluar dengan sendirinya. Kutoleh kearahnya, dia juga menangis
sambil menundukkan kepalanya.
“Jadi, besok??” tanyaku, dia hanya
mengangguk.
“Selamat ya kak, aku bakal datang kok
besok,” kataku lagi sambil menegarkan hatiku.
“Jangan!” katanya.
“Kenapa? Itu peristiwa penting.” Kataku
lagi.
Saat itu kami kembali mengenang masa
lalu. Lama setelah itu dia mengajakku untuk makan ke Warung mbok Iyem, mungkin
untuk terakhir kalinya. Tepat 4 tahun hubungan itu harus berkhir dengan pahit.
10 September 2008 – 10 september 2012. Semoga dia bahagia.
SELESAI