Minggu, 15 September 2013

Hukum Perdata


HUKUM PERDATA

A.    Istilah Dan Defenisi Hukum Perdata
Pada prisnsipnya hukum menurut menurut isinya dibagi menjadi dua macam, yaitu:   hukum publik dan hukum privat/ hukum perdata. Hukum publik adalah ketentuan-ketentuan hukum yang mengatur kepertingan umum atau mengatur hal-hal hukum yang menyangkut kepentingan umum. Sedangkan hukum privat/perdata adalah ketentuan-ketentuan hukum yang mengatur hal-hal yang bersifat perdataan/ kepentingan pribadi.
Istilah hukum perdata pertama kali diperkenalkan oleh Prof. Djojodiguno sebagai terjemahan dari Burgerlijkrecht di masa penjajahan Jepang. Hukum perdata di sebut juga dengan hukum sipil dan hukum privat
Adapun menurut Subekti, perkataan ‘hukum perdata’ mengandung dua istilah, yaitu: Pertama, hukum perdata dalam arti luas meliputi semua hukum ‘privat materiil’, yaitu segala hukum pokok yang mengatur kepentingan-kepentingan perseorangan. Termasuk dalam pengertian hukum perdata dalam arti luas ini adalah hukum dagang. Kedua, hukum perdata dalam arti sempit, dipakai sebagai lawan dari ‘hukum daagang’.
1.      Defenisi Hukum Perdata
Van Dunne mengartikan hukum perdata sebagai suatu aturan yang mengatur tentang hal-hal yang sangat esensial bagi kebebasan individu, seperti orang ydan keluarganya, hak milik dan perikatan. Devenisi ini mengkaji hukum perdata darin aspek pengaturannya, yaitu orang dan keluarganya, hak milik dan perikatan.

Adapun menurut H. F. A. Vollmar:
Hukum perdata adalah aturang-aturan atau norma-norma yang memberikan pembatasan dan oleh karenannya memberikan perlindungan pada kepentingan-kepentingan perseorangan dalam perbandingan yang tepat antara kepentingan yang sama dengan kepentingan yang lain dari orang-orang dalam suatu masyarakat tertentu terutama yang mengenai hubungan keluarga dan hubungan lalu lintas.

Senada dengan H. F. A. Vollmar, mengatakan:
Hukum perdata adalah hukum antar perorangan yang mengatur hak dan kewajiban orang perseorangan yang satu terhadap yang lain dari hubungan kekeluargaan dan di dalam pergaulan masyarakat yang pelaksanaannya diserahkan masing-masing pihak.
Pada konteks yang lebih kompleks, Salim HS., berpendapat bahwa hukum perdata pada dasarnya merupakan keseluruhan kaidah-kaidah hukum (baik tertulis/tidak tertulis) yang mengatur hubungan antara subjek hukum satu dengan subjek hukum yang lain dalam hubungan kekeluargaan dan di dalam pergaulan kemasyarakatan.

B.     Sumber Hukum Perdata Indonesia
Sumber hukum adalah segala apa saja yang menimbulkan aturan-atuaran yang mempunyai kekuatan yang bersifat memaksa, yakni aturan-aturan yang kalau dilanggar mengakibatkan sanki yang tegas dan nyata.
Menurut Juniarto, istilah sumber hukum, dapat dipandang dalam tiga pengertian
(1)             Sumber dalam arti sebagai asal hukum, yaitu yang berkaitan tentang kewenangan penguasa, antara lain :
(a)    Adanya suatu peraturan hukum dikeluarkan oleh penguasa yang berwenang untuk mengeluarkan keputusan tersebut ;
(b)   Adanya kewenangan itu merupakan syarat mutlak untuk sahnya keputusan tersebut; dan
(c)    Kewenangan yang dimiliki oleh penguasa harus ada dasar hukumnya.
(2)               Sumber dalam arti tempat diketemukannya hukum, yaitu sumber yang membahas mengenai macam-macam, jenis, yang bentuk peraturan terutama yang tertulis yang dapat berupa undang-undang atau peraturan lainnya.
(3)               Sumber dalam arti sebegai hal-hal yang dapat memengaruhi penentuan hukum, artinya dalam menciptakan hukum positif yang baik dan adil sesuai dengan keadaan dan kebutuhan, harus memerhatikan berbagai macam hal, antara lain, keyakinam, rasa keadilan, serta perasaan hukum yang hidup dalam masyarakat.
Pada dasarnya sumber hukum perdata, meliputi sumber hukum materiil dan sumber hukum formal. Sumber hukum materiil adalah sumber hukum yang menentukan isi hukum, yaitu tempat diman mater4i hukum itu diambil. Sedangkan sumber hukum formal adalah tempat memperoleh kekuatan hukum.
Secara khusus yang jadi sumberhukum perdata Indonesia tertulis, antara lain :
1.         Algemene Bepalingen van Wetgeving (AB), merupakan ketentuan-ketentuan umum pemerintah Hindia Belanda yang diberlakukan di Indonesia tanggal 30 April 1847 yang terdiri dari 36 pasal.
2.         KUH Perdata atau Burgelijk Wetboek (BW), merupakan ketentuan hukum produk Hindia Belanda yang diundangkan tahun 1848 diberlakukan di Indonesia berdasarkan asas konkordansi.
3.         KUHD atau Wetboek van Koopandehel (WvK), KUHD ini meliputi dua buku; Buku I tentang Dagang secara umum dan Buku II tentang hak-hak dan kewajiban yang timbul dalam pelayaran. Terdiri dari 754 pasal.
4.         UU No. 5 Tahun 1960 tentang Pokok-Pokok Agraria, UU ini telah mencabut berlakunya Buku II KUH Perdata, sepanjang mengenai hak atas tanah, kecuali mengenai hipotek.
5.         UU No. 1 Tahun 1974 tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok Perkawinan, dengan berlakunya ketentuan ini, maka ketentuan-ketentuan yang tercantum dalam Buku I KUH Perdata, khususnya tentang perkawinan menajdi tidak berlaku secara penuh.
6.         UU No. 4 Tahun1996 tantang Hak Tanggungan atas Tanah beserta Benda-Benda yang Berkaitan dengan Tanah, UU ini mencabut berlakunya hipotek sebagaimana yang diatur dalam Buku II KUH Perdata, sepanjang mengenai tanah dan ketentuan mengenai Credieverband.
7.         UU No. 42 Tahun 1999 tentang Jaminan Fidusia, UU ini terdiri dari 7 bab dan 41 pasal. Hal-hal yang diatur dalam UU ini meliputi pembebanan, pendaftaran, pengalihan, dan hapusnya jaminan fidusida, hak mendahului, dan eksekusi jaminan fidusia.
8.         UU No. 24 Tahun 2004 tentang Lembaga Jaminan Simpanan (LPS), di dalamnya mengatur hubungan hukum publik dan mengatur hubungan hukum perdata, konsisten dengan hal itu, maka konsep perlindungan hukum terhadap nasabah penyimpan dana dalam UU LPS adalah perlindungan hukumnya sesuai dengan ketentuan yang mengatur hubungan publik, di mana nasabah penyimpan dana memperoleh hak/perlindungan sesuai yang diberikan oleh negara/badan hukum publik/LPS dan sesuai dengan ketentuan yang mengatur hubungan hukum perdata, di mana nasabah penyimpan dana memperoleh hak/perlindungan sama banyaknya.
9.         Intruksi Presiden No. 1 Tahun 1991 tentang Kompilasi Hukum Islam (KHI), mengatur tiga hal, yaitu hukum perkawinan, hukum kewarisan, hukum perwakafan. Ketentuan ini hanya brlaku bagi orang-orang yang beragama Islam.
C.       Sejarah Hukum Perdata di Indonesia
1.      Hukum Perdata Pada Masa Penjajahan Belanda
Pada mulanya hukun Perdata Belanda dirancang oleh suatu panitia yang dibentuk tahun 1814 yang diketuai oleh Mr. J. M. Kempers (1776 – 1824). Tahun 1816, Kempers menyampaikan rencana code hukum tersebut kepada pemerintah Belanda di dasarkan pada hukum Belanda Kuno dan diberi nama Ontwerp Kempers. Ontwerp Kempers ini ditentang keras oleh P. Th. Nicolai, yaitu anggota parlemen berkebangsaan Belgia dan sekaligus menjadi presiden pengadilan Belgia. Tahun 1824 Kempers meninggal, selanjutnya penyusunan codifikasi hukum diserahkan Nicolai. Akibat perubahan tersebut, dasar pembentukan hukum perdata Belanda sebagian besar berorientasi pada code civil Perancis yang meresepsi hukum Romawi, corpus civilis dari Justianus. Dengan demikian hkum perdata Belanda merupakan kombinasi dari hukum kebiasaan/hukum Belan da Kuno dengan corpus civil Perancis.
Pada tahun 1848, kodifikasi hukum Belanda diberlakukan di Indonesia. Hukum ini hanya diberlakukan bagi orang-orang Eropa dan dipersamakan dengan mereka (golongan Tiong Hoa). Pada tahun 1919, kodifikasi hukum perdata Belanda diberlakukan di Indonesia.

2.      Hukum Perdata Sejak Kemerdekaan.
Hukum perdata yang berlakau di Indonesia didasarkan pada Pasal II Aturan Peralihan UUD 1945, yang pada pokoknya manentukan bahwa segala peratutan dinyatakan masih berlaku sebelum diadakannya peraturan baru menurut UUD termasuk di dalamnya hukum perdata Belanda yang berlaku di Indonesia. Hal ini untuk mencegah kekosongan hukum (rechtvacumm), di bidang hukum perdata.
Selain itu, secara keseluruhan hukum perdata Indonesia dalam perjalan sejarahnya mengalami beberapa proses perubahan yang mana perubahan tersebut disesuaikan dengan kondisi bangsa Indonesia sendiri.

a.    Hukum Agraria
Undang-undang Pokok Agraria pada dasarnya mengatur secara garis besar tentang keberadaan dan kedudukan partahanan yang disesuaikan dengan keadaan bangsa Indonesia sedndiri terutama hukum adat.
Beberapa pertimbangan yang melatarbelakangi lahirnya Undang-Undang Pokok Agraria tersebut, adalah:
(1)   Hukum agraria yang berlaku sebelumnya sebagian tersusun brdasarkan tujuan dan sendi-endi dari pemerintahan penjajah, sehinmgga bertentangan dengan kepentingan rakyat dan negara  didalam melaksanakan pembangunan;
(2)   Sebagai akibat dari politik hukum pemerintah jajahan, maka hukum agraria berifat dualisme, yaitu berlakunya peraturan-peraturan dari hukum adat dan peraturan-peraturan yang didasrkan pada hukum barat, sehingga menimbulkan perbagai masalah; dan
(3)   Bagi rakyat Indonesia asli hukum agraria paenjajahan tidak menjamin kepastian hukum.

b.      Hukum Perkawinan
Sebelum berlakunya UU No. 1 tahun 1974 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Perkawinan, ketentuan-ketentuan yang mengatur perkawinan yang berlaku di Indonesia masih terpecah-pecah. Peraturan-peraturan tersebut diantaranya;
1.      Buku I KUH Perdata yang mengatur tentang perkawinan bagi golongan Eropa, warga negara Indonesia keturunan Eropa, dan yang disamakan dengan mereka;
2.      Ordonansi Perkawina Indonesia Kristen , yaitu ketentuan tentang perkawinan bagi golongan bumiputra yang beragama Kristen;
3.      Ordonasi Perkawina Percampuran, yaitu ketentuan yang mengatur tentang perkawina campuran;
4.      Bagi orang-orang Indonesia Sali beragama Islam berlaku hukum agama yang direalisir dari hukum adat dan orang-orang Indonesia asli yang lainnya berlaku hukum adat.
Dengan berlakunya UU No. 1 tahun 1974 dan Tambahan Negara RI No. 3019, maka sekaligus mencabut ketentuan-ketentuan hukum tersebut dan peraturan-peraturan lain khususnya yang mengatur tentang perkawinan sejauh telah diatur dalam  UU No. 1 tahun 1974 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Perkawinan  dinyatakan tidak berlaku lagi
UU No. 1 tahun 1974 beserta aturan operasionalisasinya, memberikan bagi prosesi dan hukum perkawinan khususnya bagi bangsa Indonesia yang beragama Muslim. Sedangkan bagi bangsa Indonesia yang beragama non-Muslim tetap tunduk pada KUH Perdata ataupun hukum adat.

c.       Hukum Islam yang Direseptio
Berdasarkan Surat Edaran Biro Pengadilan Agama tanggal 18 Febuari 1958 No. B/I/735 hukum materiil yang dijadikan pedoman dalam bidang hukum Islam di Indonesia tersebut  bersumber pada 13 kitab yang kesemuanya mazhab Safi’I, dengan demikian diperlukan perluasan dan penambahan mazhab-mazhab yang lain, demi kebutuhan hukum masyarakat. Kompilasi hukum Islam mengatur tentang 3 hal, yaitu : hukum perkawinan, hukum kewarisan, hukum perwakafan. Keberlakuan tentang kompilasi hukum Islam diperuntukkan khusus bagi bangsa Indonesia yang beragama Islam.

d.      Hak Tanggungan Atas Tanah Beserta Benda-benda yang Berkaitan dengan Tanah
Dengan berlakunya UU No. 4 Tahun 1996 tentang Hak Tanggungan Atas Tanah Beserta Benda-benda yang berkaitan denag Tanah, maka sekaligus mencabut berlakunya Hipotek yang diatur dalam Buku II KUH Perdata mengenai tanah dan ketentuan-ketentuan mengenai Creditverband.
Tujuan utama pemberlakuan UU Hak Tanggungan sebagai pengganti hipotek sebagaima diatur dalam Buku II BW, adalah karena ketentuan tersebut tidak sesuai lagi dengan kebutuhan kegiatan perkrediatan sehubungan dengan perkembangan tata perekonomian Indonesia.

e.       Jamina Fidusia
UU No. 42 Tahun 1999 tentang jaminan Fidusia, terdiri atas 7 bab 41 pasal. Hal-hal yang diatur antara lain; pembebana, pendaftaran, pengalihan dan khususnya jaminan fidusia, hak mendahului, dan eksekusi jaminan fidusia.
Pertimbangan lahirnya UU No. 42 Tahun 1999 tentang jaminan fidusia meliputi :
(1)   Adanya ketentuan yang sangat besar dan terus meningkat bagi dunia usaha atas tersedianya dana, perlu diimbangi dengan adanya ketentuan hukum yang jelas dan lengkap mengatur mengenai lembaga jaminan;
(2)   Jaminan fidusia sebagai salah satu bentuk lembaga jaminan sampai saat ini masih didasarkan atas yurrisprudensi dan belum ada undang undang yang menagturnya; dan
(3)   Memenuhi kebutuhan hukum yang mengacu pada pembangunan nasional, serta mampu memberikan perlindungan hukum dan kepastian hukum.
f.       Lembaga Pejamin Simpanan
UU LPS didalammnya mengatur hubungan publik, dan mengatur hubungan hukum perdata, konsisten dengan hal itu, maka konsep perlindungan hukum terhadap nasabah penyimpan dana dalam UU LPS adalah perlindungan hukum yang sesuai dengan ketentuan yang mengatur hubungan hukum perdata, dimana nasabah penyimpanan dan memperoleh hak/perlindungan sama banyaknya

D.    Sisitematika Hukum Perdata Indonesia
Menurut ilmu pengetahuan hukum, hukum perdata dapat dibagi dalam 4 bagian, yaitu
1.      Hukum perorangan ( personenrecht), yang memuat antara lain:
(1)   Peraturan-peraturan tentang manusia sebagai subjek hukum, kewenangan hukum, domisili, dan catatan sipil;
(2)   Peraturan-peraturan tentangkecakapan untuk memiliki hak-hak untuk bertindak sendiri melaksanakan hak-haknya itu; dan
(3)   Hal-hal yang memengaruhi kecakapan-kecakapan tersebut.
2.      Hukum Keluarga (familirecht) yang memuat antara lain:
(1)   Perkawinan beserta hubungan dalam hukum harta kekayaan antara suami/istri;
(2)   Hubungan antara orang tua dengan anak-anaknya ( kekuasaaan orang tua );
(3)   Perwalian, yaitu hubungan antara wali dengan anak; dan
(4)   Pengampunan, yauitu hubungan antara orang yang diletakkan di bawah pengampunan karena gila atau pikiran kurang sehat atau karena pemborosan.
3.      Hukum harta kekayaan (vermogensrecht) yang mengatur tentang hubungan-hubungan hukum yang dapat dinilaikan dengan uang. Hukum ini meliputi;
(1)   Hak mutlak, yaitu hak yang tidak memberikan kekuasaan terhadap tiap orang, meliputi:
(a)    Hak Kebendaan, yaitu hak mutlak yang memberikan kekuasaan atas suatu benda yang dapan dilihat; dan
(b)   Hak mutlak, yaitu hak yang tidak memberikan kekuasaan atas suatu benda yang dapat terlihat (immaterial); misalnya hak seorang penulis dangan tulisannya, hak seorang pedagang untuk memakai sebuah merek, dll.
(2)   Hak perorangan, yaitu hak-hal yang hanya berlaku terhadap seorang atau pihak tertentu saja.
4.      Hukum waris ( erfrecht) , adalah hukum yang mengatur tentang benda dan kekayaan seseorang jika ia meninggal dunia.
Berdasarkan sistematika yang ada dalam KUH perdata, Hukum perdata terdiri atas ³ buku yaitu:
(1)   Buku I perihal Orang ( Van Personen) memuat hukum perorangan dan hukum kekeluargaan. Buku I terdiri dari 18 bab, yaitu;
I.                   Tentang menikmati dan kehilangan hak-hak perdata;
II.                Tentang akta-akta catatan sipil;
III.             Tentang tempat tinggal (domisili);
IV.             Tentang perkawinan;
V.                Tentang hak-hak dan kewajiban-kewajiban suami istri;
VI.             Tentang persatuan harta kekayaan menurut undang-undang dan pengurusnya;
VII.          Tentang perjanjian kawin;
VIII.       Tentang persatuan dan perjanjian kawin dalam perkawinan untuk ke dua kali dan selanjutnya;
IX.             Tentang perpisahan harta kekayaan;
X.                Tentang pembubaran perkawianan;
XI.             Tentang perpisahan meja dan ranjang;
XII.          Tentang kebapakan dan keturunan anak-anak;
XIII.       Tentang kekeluargaan sedarah dan semenda;
XIV.       Tentang kekuasaan orang tua;
XV.          Tentang sebelum dewasa dan perwalian;
XVI.       Tentang pendewasaan;
XVII.    Tentang pengampunan; dan
XVIII. Tentang keadaan tidak hadir.
(2)   Buku II perihal Benda (Van Zaken) memuat hukum kebendaan dan hukum waris. Buku II terdiri dari 21 bab, yaitu:
I.                   Tentang kebendaan dan cara membeda-bedakannya;
II.                Tentang kedudukan berkuasa dan hak-hak yang timbul karenanya;
III.             Tentang hak milik;
IV.             Tentang hak dan kewajiban antara pemilik-pemilik pekarangan yang satu sama lain bertetangga;
V.                Tentang kerja rodi;
VI.             Tentang pengabdian pekarang;
VII.          Tentang hak numpang karang;
VIII.       Tentang hak usaha;
IX.             Tentang bunga tanah dan hasil sepersepuluh;
X.                Tentang hak pakai hasil;
XI.             Tentang hak pakai dan hak mendiami;
XII.          Tentang hak pewarisan karena kematian;
XIII.       Tentang surat wasiat;
XIV.       Tentang pelaksanaan wasiat dan pengurus harta peninggalan;
XV.          Tentang hak memikir dan hak istimewa untuk mengadakan pendaftaran harta peninggalan;
XVI.       Tentang hak menerima dan menolak suatu warisan;
XVII.    Tentang pemisahan harta peninggalan;
XVIII. Tentang hak peninggalan yang tidak terurus;
XIX.       Tentang piutang-piutang yang diistimewakan;
XX.          Tentang gadai; dan
XXI.       Tentang hipotek
(3)   Buku III perihal perikatan (Van Verbintennissen) memuat hukum kekayaan yang mengenai hak-hak dan kewajiban-kewajiban yang berlaku terhadap orang-orang atau pihak-pihat tertentu. Buku III terdiri dari 18 bab, yaitu :
I.                   Tentang perikatan-perikatan pada umumnya;
II.                Tentang perikatan-perikatan yang dilahirkan dari kontrak atau persetujuan;
III.             Tentang perikatan-perikatan yang dilahirkan dari undang-undang;
IV.             Tentang hapusnya perikatan-perikatan;
V.                Tentang jual beli;
VI.             Tentang tukar menukar;
VII.          Tentang sewa menyewa;
VIII.       Tentang persetujuan-persetujuan untuk melakukan pekerjaan;
IX.             Tentang perseroan;
X.                Tentang perkumpulan;
XI.             Tentang hibah;
XII.          Tentang penitipan barang;
XIII.       Tentang pinjam pakai;
XIV.       Tentang bunga tetap atau bunga abadi;
XV.          Tentang persetujuan untung-untungan;
XVI.       Tentang pemberian kuasa;
XVII.    Tentang penanggungan; dan
XVIII. Tentang perdamaian.
(4)   Buku IV perihal Pembuktian dan kedaluarsa ( Van Bewij en Verjaring) memuat ketentuan-ketentuan alat-alat bukti dan akibat lewat waktu terhadap hubungan-hubungan hukum. Buku IV terdiri dari 7 bab, yaitu :
I.                   Tentang pembuktian pada umumnya;
II.                Tentang pembuktian dengan tertulis;
III.             Tentang persangkaan-persangkaan;
IV.             Tentang pengakuan;
V.                Tentang sumpah di muka hakim;
VI.             Tentang sumpah di muka hakim;
VII.          Tentang daluarsa.
Dilihat dari segi isi masing-masing buku dalam KUH Perdata terbagi dalam 2 bagian, yaitu:
(1)      Buku I, II, dan III berisi ketentuan-ketentuan hukum perdata materiil; dan
(2)      Buku IV, berisi ketentuan-ketentuan hukum perdata formil.
Ditinjau dari segi perkembangannya hukum perdata Indonesia sekarang menunjukkan tendensi perubahan. Sebagaimana sitematika hukum perdata Belanda yang diundangkan pada tanggal 3 Desember 1987 dan mulai berlaku 1 April 1988 melipuli 5 buku, yaitu:
(1)   Buku I tentang Orang dan Keluarga;
(2)   Buku II tentang Hukum Badan Hukum;
(3)   Buku III tentang Hukum Hak Kebendaan;
(4)   Buku IV tentang Hukum Perikatan;
(5)   Buku V tentang Daluarsa
Sedangkan dilihat dari sisi pembidangan isinya hukum perdata Indonesia dalam perkembangannya terbagi menjadi bagian-bagian antara lain:
(1)          Bidang Hukum Keluarga, yaitu keseluruhan kaidah-kaidah hukum baik tertulis maupun tidak tertulis yang mengatur hubungan hukum mengenai perkawinan, perceraian, harta benda dalam perkawinan, kekuasaan orang tua, kedudukan, pengampunan, dan perwalian;
(2)          Bidang Hukum Waris, yaitu hukum yang mengatur kedudukan hukum harta kekayaan seseorang setelah ia meninggal, terutama berpindahnya harta kekayaan itu kepada orang lain;
(3)          Bidang Hukum Benda, yaitu peraturan-peraturan hukum yang mengatur hak-hak kebendaan yang bersifat mutlak, artinya hak terhadap benda oleh setiap orang wajib diakui dan dihormati;
(4)          Bidang Hukum Jaminan, yaitu peraturan-peraturan hukum yang mengatur tentang pembebana penjaminan terhadap benda ( jaminan kebendaan ) dan perorangan (jaminan perorangan);
(5)          Bidang Hukum Badan Hukum, yaitu peraturan-paraturan kukum yang mengatur tentang harta kekayaan, hak dan kewajiban suatu badan hukum;
(6)          Bidang Hukum Perikatan Umum, yaitu peraturan-peraturah hukum yang mengatur perhubungan yang bersifat kehartaan antara dua orang atau lebih dimana pihak pertama berhak atas suatu prestasi;
(7)          Bidang Hukum  Perjanjian Khusus, yaitu peraturan-peraturan hukum yang mengatur perhubungan yang bersifat kehartaan antara dua orang atau lebih dimana pihak pertama berhak atas suatu prestasi untuk hal-hal khusus. Misalnya jual-beli, sewa-menyewa, dll.


Sumber:

Subekti, R. 2002. Pokok-pokok Hukum Perdata. Jakarta : Internusa. Cet. XXX.
Tutik, Titik T. 2006. Pengantar Ilmu Hukum. Jakarta : Prestasi Pustaka. Cet. I.
Tutik, Titik T. 2008. Hukum Perdata dalam Sistem Hukum Nasional.   Jakarta: Kencana. Cet. I.
www. Wikipedia/hukum

Tidak ada komentar:

Posting Komentar