HUKUM
PERDATA
A.
Istilah
Dan Defenisi Hukum Perdata
Pada prisnsipnya hukum menurut menurut
isinya dibagi menjadi dua macam, yaitu:
hukum publik dan hukum privat/ hukum perdata. Hukum publik adalah
ketentuan-ketentuan hukum yang mengatur kepertingan umum atau mengatur hal-hal
hukum yang menyangkut kepentingan umum. Sedangkan hukum privat/perdata adalah
ketentuan-ketentuan hukum yang mengatur hal-hal yang bersifat perdataan/
kepentingan pribadi.
Istilah hukum perdata pertama kali
diperkenalkan oleh Prof. Djojodiguno sebagai terjemahan dari Burgerlijkrecht di masa penjajahan
Jepang. Hukum perdata di sebut juga dengan hukum sipil dan hukum privat
Adapun menurut Subekti, perkataan ‘hukum
perdata’ mengandung dua istilah, yaitu: Pertama,
hukum perdata dalam arti luas meliputi semua hukum ‘privat materiil’, yaitu
segala hukum pokok yang mengatur kepentingan-kepentingan perseorangan. Termasuk
dalam pengertian hukum perdata dalam arti luas ini adalah hukum dagang. Kedua,
hukum perdata dalam arti sempit, dipakai sebagai lawan dari ‘hukum daagang’.
1.
Defenisi
Hukum Perdata
Van
Dunne mengartikan hukum perdata sebagai suatu aturan yang mengatur tentang
hal-hal yang sangat esensial bagi kebebasan individu, seperti orang ydan
keluarganya, hak milik dan perikatan. Devenisi ini mengkaji hukum perdata darin
aspek pengaturannya, yaitu orang dan keluarganya, hak milik dan perikatan.
Adapun menurut H. F. A.
Vollmar:
Hukum
perdata adalah aturang-aturan atau norma-norma yang memberikan pembatasan dan
oleh karenannya memberikan perlindungan pada kepentingan-kepentingan
perseorangan dalam perbandingan yang tepat antara kepentingan yang sama dengan
kepentingan yang lain dari orang-orang dalam suatu masyarakat tertentu terutama
yang mengenai hubungan keluarga dan hubungan lalu lintas.
Senada dengan H. F. A.
Vollmar, mengatakan:
Hukum
perdata adalah hukum antar perorangan yang mengatur hak dan kewajiban orang
perseorangan yang satu terhadap yang lain dari hubungan kekeluargaan dan di
dalam pergaulan masyarakat yang pelaksanaannya diserahkan masing-masing pihak.
Pada
konteks yang lebih kompleks, Salim HS., berpendapat bahwa hukum perdata pada
dasarnya merupakan keseluruhan kaidah-kaidah hukum (baik tertulis/tidak
tertulis) yang mengatur hubungan antara subjek hukum satu dengan subjek hukum
yang lain dalam hubungan kekeluargaan dan di dalam pergaulan kemasyarakatan.
B.
Sumber
Hukum Perdata Indonesia
Sumber hukum
adalah segala apa saja yang menimbulkan aturan-atuaran yang mempunyai kekuatan
yang bersifat memaksa, yakni aturan-aturan yang kalau dilanggar mengakibatkan
sanki yang tegas dan nyata.
Menurut Juniarto, istilah sumber
hukum, dapat dipandang dalam tiga pengertian
(1)
Sumber dalam arti sebagai asal hukum,
yaitu yang berkaitan tentang kewenangan penguasa, antara lain :
(a) Adanya
suatu peraturan hukum dikeluarkan oleh penguasa yang berwenang untuk
mengeluarkan keputusan tersebut ;
(b) Adanya
kewenangan itu merupakan syarat mutlak untuk sahnya keputusan tersebut; dan
(c) Kewenangan
yang dimiliki oleh penguasa harus ada dasar hukumnya.
(2)
Sumber dalam arti tempat diketemukannya
hukum, yaitu sumber yang membahas mengenai macam-macam, jenis, yang bentuk
peraturan terutama yang tertulis yang dapat berupa undang-undang atau peraturan
lainnya.
(3)
Sumber dalam arti sebegai hal-hal yang
dapat memengaruhi penentuan hukum, artinya dalam menciptakan hukum positif yang
baik dan adil sesuai dengan keadaan dan kebutuhan, harus memerhatikan berbagai
macam hal, antara lain, keyakinam, rasa keadilan, serta perasaan hukum yang
hidup dalam masyarakat.
Pada dasarnya sumber
hukum perdata, meliputi sumber hukum materiil dan sumber hukum formal. Sumber
hukum materiil adalah sumber hukum yang menentukan isi hukum, yaitu tempat
diman mater4i hukum itu diambil. Sedangkan sumber hukum formal adalah tempat
memperoleh kekuatan hukum.
Secara
khusus yang jadi sumberhukum perdata Indonesia tertulis, antara lain :
1.
Algemene
Bepalingen van Wetgeving (AB), merupakan
ketentuan-ketentuan umum pemerintah Hindia Belanda yang diberlakukan di
Indonesia tanggal 30 April 1847 yang terdiri dari 36 pasal.
2.
KUH
Perdata atau Burgelijk Wetboek (BW), merupakan ketentuan
hukum produk Hindia Belanda yang diundangkan tahun 1848 diberlakukan di
Indonesia berdasarkan asas konkordansi.
3.
KUHD
atau Wetboek van Koopandehel (WvK), KUHD ini meliputi dua
buku; Buku I tentang Dagang secara umum dan Buku II tentang hak-hak dan
kewajiban yang timbul dalam pelayaran. Terdiri dari 754 pasal.
4.
UU
No. 5 Tahun 1960 tentang Pokok-Pokok Agraria, UU ini telah
mencabut berlakunya Buku II KUH Perdata, sepanjang mengenai hak atas tanah,
kecuali mengenai hipotek.
5.
UU
No. 1 Tahun 1974 tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok Perkawinan,
dengan berlakunya ketentuan ini, maka ketentuan-ketentuan yang tercantum dalam
Buku I KUH Perdata, khususnya tentang perkawinan menajdi tidak berlaku secara
penuh.
6.
UU
No. 4 Tahun1996 tantang Hak Tanggungan atas Tanah beserta Benda-Benda yang
Berkaitan dengan Tanah, UU ini mencabut berlakunya
hipotek sebagaimana yang diatur dalam Buku II KUH Perdata, sepanjang mengenai
tanah dan ketentuan mengenai Credieverband.
7.
UU
No. 42 Tahun 1999 tentang Jaminan Fidusia, UU ini terdiri
dari 7 bab dan 41 pasal. Hal-hal yang diatur dalam UU ini meliputi pembebanan,
pendaftaran, pengalihan, dan hapusnya jaminan fidusida, hak mendahului, dan
eksekusi jaminan fidusia.
8.
UU
No. 24 Tahun 2004 tentang Lembaga Jaminan Simpanan (LPS),
di dalamnya mengatur hubungan hukum publik dan mengatur hubungan hukum perdata,
konsisten dengan hal itu, maka konsep perlindungan hukum terhadap nasabah
penyimpan dana dalam UU LPS adalah perlindungan hukumnya sesuai dengan
ketentuan yang mengatur hubungan publik, di mana nasabah penyimpan dana
memperoleh hak/perlindungan sesuai yang diberikan oleh negara/badan hukum
publik/LPS dan sesuai dengan ketentuan yang mengatur hubungan hukum perdata, di
mana nasabah penyimpan dana memperoleh hak/perlindungan sama banyaknya.
9.
Intruksi
Presiden No. 1 Tahun 1991 tentang Kompilasi Hukum Islam (KHI),
mengatur tiga hal, yaitu hukum perkawinan, hukum kewarisan, hukum perwakafan.
Ketentuan ini hanya brlaku bagi orang-orang yang beragama Islam.
C.
Sejarah
Hukum Perdata di Indonesia
1.
Hukum
Perdata Pada Masa Penjajahan Belanda
Pada
mulanya hukun Perdata Belanda dirancang oleh suatu panitia yang dibentuk tahun
1814 yang diketuai oleh Mr. J. M. Kempers (1776 – 1824). Tahun 1816, Kempers
menyampaikan rencana code hukum tersebut kepada pemerintah Belanda di dasarkan
pada hukum Belanda Kuno dan diberi nama Ontwerp
Kempers. Ontwerp Kempers ini
ditentang keras oleh P. Th. Nicolai, yaitu anggota parlemen berkebangsaan
Belgia dan sekaligus menjadi presiden pengadilan Belgia. Tahun 1824 Kempers
meninggal, selanjutnya penyusunan codifikasi hukum diserahkan Nicolai. Akibat
perubahan tersebut, dasar pembentukan hukum perdata Belanda sebagian besar
berorientasi pada code civil Perancis yang meresepsi hukum Romawi, corpus civilis dari Justianus. Dengan
demikian hkum perdata Belanda merupakan kombinasi dari hukum kebiasaan/hukum
Belan da Kuno dengan corpus civil Perancis.
Pada
tahun 1848, kodifikasi hukum Belanda diberlakukan di Indonesia. Hukum ini hanya
diberlakukan bagi orang-orang Eropa dan dipersamakan dengan mereka (golongan
Tiong Hoa). Pada tahun 1919, kodifikasi hukum perdata Belanda diberlakukan di
Indonesia.
2.
Hukum
Perdata Sejak Kemerdekaan.
Hukum
perdata yang berlakau di Indonesia didasarkan pada Pasal II Aturan Peralihan
UUD 1945, yang pada pokoknya manentukan bahwa segala peratutan dinyatakan masih
berlaku sebelum diadakannya peraturan baru menurut UUD termasuk di dalamnya
hukum perdata Belanda yang berlaku di Indonesia. Hal ini untuk mencegah
kekosongan hukum (rechtvacumm), di bidang hukum perdata.
Selain
itu, secara keseluruhan hukum perdata Indonesia dalam perjalan sejarahnya
mengalami beberapa proses perubahan yang mana perubahan tersebut disesuaikan
dengan kondisi bangsa Indonesia sendiri.
a.
Hukum
Agraria
Undang-undang
Pokok Agraria pada dasarnya mengatur secara garis besar tentang keberadaan dan
kedudukan partahanan yang disesuaikan dengan keadaan bangsa Indonesia sedndiri
terutama hukum adat.
Beberapa
pertimbangan yang melatarbelakangi lahirnya Undang-Undang Pokok Agraria
tersebut, adalah:
(1) Hukum
agraria yang berlaku sebelumnya sebagian tersusun brdasarkan tujuan dan
sendi-endi dari pemerintahan penjajah, sehinmgga bertentangan dengan
kepentingan rakyat dan negara didalam
melaksanakan pembangunan;
(2) Sebagai
akibat dari politik hukum pemerintah jajahan, maka hukum agraria berifat dualisme,
yaitu berlakunya peraturan-peraturan dari hukum adat dan peraturan-peraturan
yang didasrkan pada hukum barat, sehingga menimbulkan perbagai masalah; dan
(3) Bagi
rakyat Indonesia asli hukum agraria paenjajahan tidak menjamin kepastian hukum.
b.
Hukum
Perkawinan
Sebelum
berlakunya UU No. 1 tahun 1974 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Perkawinan,
ketentuan-ketentuan yang mengatur perkawinan yang berlaku di Indonesia masih
terpecah-pecah. Peraturan-peraturan tersebut diantaranya;
1. Buku
I KUH Perdata yang mengatur tentang perkawinan bagi golongan Eropa, warga
negara Indonesia keturunan Eropa, dan yang disamakan dengan mereka;
2. Ordonansi
Perkawina Indonesia Kristen , yaitu ketentuan tentang perkawinan bagi golongan
bumiputra yang beragama Kristen;
3. Ordonasi
Perkawina Percampuran, yaitu ketentuan yang mengatur tentang perkawina
campuran;
4. Bagi
orang-orang Indonesia Sali beragama Islam berlaku hukum agama yang direalisir
dari hukum adat dan orang-orang Indonesia asli yang lainnya berlaku hukum adat.
Dengan
berlakunya UU No. 1 tahun 1974 dan Tambahan Negara RI No. 3019, maka sekaligus
mencabut ketentuan-ketentuan hukum tersebut dan peraturan-peraturan lain
khususnya yang mengatur tentang perkawinan sejauh telah diatur dalam UU No. 1 tahun 1974 tentang Ketentuan-ketentuan
Pokok Perkawinan dinyatakan tidak
berlaku lagi
UU
No. 1 tahun 1974 beserta aturan operasionalisasinya, memberikan bagi prosesi
dan hukum perkawinan khususnya bagi bangsa Indonesia yang beragama Muslim.
Sedangkan bagi bangsa Indonesia yang beragama non-Muslim tetap tunduk pada KUH
Perdata ataupun hukum adat.
c.
Hukum
Islam yang Direseptio
Berdasarkan
Surat Edaran Biro Pengadilan Agama tanggal 18 Febuari 1958 No. B/I/735 hukum
materiil yang dijadikan pedoman dalam bidang hukum Islam di Indonesia
tersebut bersumber pada 13 kitab yang
kesemuanya mazhab Safi’I, dengan demikian diperlukan perluasan dan penambahan
mazhab-mazhab yang lain, demi kebutuhan hukum masyarakat. Kompilasi hukum Islam
mengatur tentang 3 hal, yaitu : hukum perkawinan, hukum kewarisan, hukum
perwakafan. Keberlakuan tentang kompilasi hukum Islam diperuntukkan khusus bagi
bangsa Indonesia yang beragama Islam.
d.
Hak
Tanggungan Atas Tanah Beserta Benda-benda yang Berkaitan dengan Tanah
Dengan
berlakunya UU No. 4 Tahun 1996 tentang Hak Tanggungan Atas Tanah Beserta
Benda-benda yang berkaitan denag Tanah, maka sekaligus mencabut berlakunya
Hipotek yang diatur dalam Buku II KUH Perdata mengenai tanah dan
ketentuan-ketentuan mengenai Creditverband.
Tujuan
utama pemberlakuan UU Hak Tanggungan sebagai pengganti hipotek sebagaima diatur
dalam Buku II BW, adalah karena ketentuan tersebut tidak sesuai lagi dengan
kebutuhan kegiatan perkrediatan sehubungan dengan perkembangan tata perekonomian
Indonesia.
e.
Jamina
Fidusia
UU
No. 42 Tahun 1999 tentang jaminan Fidusia, terdiri atas 7 bab 41 pasal. Hal-hal
yang diatur antara lain; pembebana, pendaftaran, pengalihan dan khususnya
jaminan fidusia, hak mendahului, dan eksekusi jaminan fidusia.
Pertimbangan
lahirnya UU No. 42 Tahun 1999 tentang jaminan fidusia meliputi :
(1) Adanya
ketentuan yang sangat besar dan terus meningkat bagi dunia usaha atas
tersedianya dana, perlu diimbangi dengan adanya ketentuan hukum yang jelas dan
lengkap mengatur mengenai lembaga jaminan;
(2) Jaminan
fidusia sebagai salah satu bentuk lembaga jaminan sampai saat ini masih
didasarkan atas yurrisprudensi dan belum ada undang undang yang menagturnya;
dan
(3) Memenuhi
kebutuhan hukum yang mengacu pada pembangunan nasional, serta mampu memberikan
perlindungan hukum dan kepastian hukum.
f.
Lembaga
Pejamin Simpanan
UU
LPS didalammnya mengatur hubungan publik, dan mengatur hubungan hukum perdata,
konsisten dengan hal itu, maka konsep perlindungan hukum terhadap nasabah
penyimpan dana dalam UU LPS adalah perlindungan hukum yang sesuai dengan ketentuan
yang mengatur hubungan hukum perdata, dimana nasabah penyimpanan dan memperoleh
hak/perlindungan sama banyaknya
D.
Sisitematika
Hukum Perdata Indonesia
Menurut
ilmu pengetahuan hukum, hukum perdata dapat dibagi dalam 4 bagian, yaitu
1. Hukum
perorangan ( personenrecht),
yang memuat antara lain:
(1) Peraturan-peraturan
tentang manusia sebagai subjek hukum, kewenangan hukum, domisili, dan catatan
sipil;
(2) Peraturan-peraturan
tentangkecakapan untuk memiliki hak-hak untuk bertindak sendiri melaksanakan
hak-haknya itu; dan
(3) Hal-hal
yang memengaruhi kecakapan-kecakapan tersebut.
2. Hukum
Keluarga (familirecht) yang memuat antara lain:
(1) Perkawinan
beserta hubungan dalam hukum harta kekayaan antara suami/istri;
(2) Hubungan
antara orang tua dengan anak-anaknya ( kekuasaaan orang tua );
(3) Perwalian,
yaitu hubungan antara wali dengan anak; dan
(4) Pengampunan,
yauitu hubungan antara orang yang diletakkan di bawah pengampunan karena gila
atau pikiran kurang sehat atau karena pemborosan.
3. Hukum
harta kekayaan (vermogensrecht) yang mengatur tentang
hubungan-hubungan hukum yang dapat dinilaikan dengan uang. Hukum ini meliputi;
(1) Hak
mutlak, yaitu hak yang tidak memberikan kekuasaan terhadap tiap orang,
meliputi:
(a) Hak
Kebendaan, yaitu hak mutlak yang memberikan kekuasaan atas suatu benda yang
dapan dilihat; dan
(b) Hak
mutlak, yaitu hak yang tidak memberikan kekuasaan atas suatu benda yang dapat
terlihat (immaterial); misalnya hak seorang penulis dangan tulisannya, hak
seorang pedagang untuk memakai sebuah merek, dll.
(2) Hak
perorangan, yaitu hak-hal yang hanya berlaku terhadap seorang atau pihak
tertentu saja.
4. Hukum
waris ( erfrecht) , adalah hukum yang mengatur tentang
benda dan kekayaan seseorang jika ia meninggal dunia.
Berdasarkan
sistematika yang ada dalam KUH perdata, Hukum perdata terdiri atas ³ buku
yaitu:
(1) Buku
I perihal Orang ( Van Personen) memuat hukum perorangan dan hukum kekeluargaan.
Buku I terdiri dari 18 bab, yaitu;
I.
Tentang menikmati dan kehilangan hak-hak
perdata;
II.
Tentang akta-akta catatan sipil;
III.
Tentang tempat tinggal (domisili);
IV.
Tentang perkawinan;
V.
Tentang hak-hak dan kewajiban-kewajiban
suami istri;
VI.
Tentang persatuan harta kekayaan menurut
undang-undang dan pengurusnya;
VII.
Tentang perjanjian kawin;
VIII. Tentang
persatuan dan perjanjian kawin dalam perkawinan untuk ke dua kali dan selanjutnya;
IX.
Tentang perpisahan harta kekayaan;
X.
Tentang pembubaran perkawianan;
XI.
Tentang perpisahan meja dan ranjang;
XII.
Tentang kebapakan dan keturunan
anak-anak;
XIII. Tentang
kekeluargaan sedarah dan semenda;
XIV. Tentang
kekuasaan orang tua;
XV.
Tentang sebelum dewasa dan perwalian;
XVI. Tentang
pendewasaan;
XVII. Tentang
pengampunan; dan
XVIII. Tentang
keadaan tidak hadir.
(2) Buku
II perihal Benda (Van Zaken) memuat hukum kebendaan dan hukum waris. Buku II
terdiri dari 21 bab, yaitu:
I.
Tentang kebendaan dan cara
membeda-bedakannya;
II.
Tentang kedudukan berkuasa dan hak-hak
yang timbul karenanya;
III.
Tentang hak milik;
IV.
Tentang hak dan kewajiban antara
pemilik-pemilik pekarangan yang satu sama lain bertetangga;
V.
Tentang kerja rodi;
VI.
Tentang pengabdian pekarang;
VII.
Tentang hak numpang karang;
VIII. Tentang
hak usaha;
IX.
Tentang bunga tanah dan hasil
sepersepuluh;
X.
Tentang hak pakai hasil;
XI.
Tentang hak pakai dan hak mendiami;
XII.
Tentang hak pewarisan karena kematian;
XIII. Tentang
surat wasiat;
XIV. Tentang
pelaksanaan wasiat dan pengurus harta peninggalan;
XV.
Tentang hak memikir dan hak istimewa
untuk mengadakan pendaftaran harta peninggalan;
XVI. Tentang
hak menerima dan menolak suatu warisan;
XVII. Tentang
pemisahan harta peninggalan;
XVIII. Tentang
hak peninggalan yang tidak terurus;
XIX. Tentang
piutang-piutang yang diistimewakan;
XX.
Tentang gadai; dan
XXI. Tentang
hipotek
(3) Buku
III perihal perikatan (Van Verbintennissen) memuat hukum kekayaan yang mengenai
hak-hak dan kewajiban-kewajiban yang berlaku terhadap orang-orang atau
pihak-pihat tertentu. Buku III terdiri dari 18 bab, yaitu :
I.
Tentang perikatan-perikatan pada
umumnya;
II.
Tentang perikatan-perikatan yang
dilahirkan dari kontrak atau persetujuan;
III.
Tentang perikatan-perikatan yang
dilahirkan dari undang-undang;
IV.
Tentang hapusnya perikatan-perikatan;
V.
Tentang jual beli;
VI.
Tentang tukar menukar;
VII.
Tentang sewa menyewa;
VIII. Tentang
persetujuan-persetujuan untuk melakukan pekerjaan;
IX.
Tentang perseroan;
X.
Tentang perkumpulan;
XI.
Tentang hibah;
XII.
Tentang penitipan barang;
XIII. Tentang
pinjam pakai;
XIV. Tentang
bunga tetap atau bunga abadi;
XV.
Tentang persetujuan untung-untungan;
XVI. Tentang
pemberian kuasa;
XVII. Tentang
penanggungan; dan
XVIII. Tentang
perdamaian.
(4) Buku
IV perihal Pembuktian dan kedaluarsa ( Van Bewij en Verjaring) memuat
ketentuan-ketentuan alat-alat bukti dan akibat lewat waktu terhadap
hubungan-hubungan hukum. Buku IV terdiri dari 7 bab, yaitu :
I.
Tentang pembuktian pada umumnya;
II.
Tentang pembuktian dengan tertulis;
III.
Tentang persangkaan-persangkaan;
IV.
Tentang pengakuan;
V.
Tentang sumpah di muka hakim;
VI.
Tentang sumpah di muka hakim;
VII.
Tentang daluarsa.
Dilihat dari segi isi masing-masing buku
dalam KUH Perdata terbagi dalam 2 bagian, yaitu:
(1) Buku
I, II, dan III berisi ketentuan-ketentuan hukum perdata materiil; dan
(2) Buku
IV, berisi ketentuan-ketentuan hukum perdata formil.
Ditinjau dari segi perkembangannya hukum
perdata Indonesia sekarang menunjukkan tendensi perubahan. Sebagaimana
sitematika hukum perdata Belanda yang diundangkan pada tanggal 3 Desember 1987
dan mulai berlaku 1 April 1988 melipuli 5 buku, yaitu:
(1) Buku
I tentang Orang dan Keluarga;
(2) Buku
II tentang Hukum Badan Hukum;
(3) Buku
III tentang Hukum Hak Kebendaan;
(4) Buku
IV tentang Hukum Perikatan;
(5) Buku
V tentang Daluarsa
Sedangkan dilihat dari sisi pembidangan
isinya hukum perdata Indonesia dalam perkembangannya terbagi menjadi
bagian-bagian antara lain:
(1)
Bidang Hukum Keluarga, yaitu keseluruhan
kaidah-kaidah hukum baik tertulis maupun tidak tertulis yang mengatur hubungan
hukum mengenai perkawinan, perceraian, harta benda dalam perkawinan, kekuasaan
orang tua, kedudukan, pengampunan, dan perwalian;
(2)
Bidang Hukum Waris, yaitu hukum yang
mengatur kedudukan hukum harta kekayaan seseorang setelah ia meninggal,
terutama berpindahnya harta kekayaan itu kepada orang lain;
(3)
Bidang Hukum Benda, yaitu
peraturan-peraturan hukum yang mengatur hak-hak kebendaan yang bersifat mutlak,
artinya hak terhadap benda oleh setiap orang wajib diakui dan dihormati;
(4)
Bidang Hukum Jaminan, yaitu
peraturan-peraturan hukum yang mengatur tentang pembebana penjaminan terhadap
benda ( jaminan kebendaan ) dan perorangan (jaminan perorangan);
(5)
Bidang Hukum Badan Hukum, yaitu
peraturan-paraturan kukum yang mengatur tentang harta kekayaan, hak dan
kewajiban suatu badan hukum;
(6)
Bidang Hukum Perikatan Umum, yaitu
peraturan-peraturah hukum yang mengatur perhubungan yang bersifat kehartaan
antara dua orang atau lebih dimana pihak pertama berhak atas suatu prestasi;
(7)
Bidang Hukum Perjanjian Khusus, yaitu peraturan-peraturan
hukum yang mengatur perhubungan yang bersifat kehartaan antara dua orang atau
lebih dimana pihak pertama berhak atas suatu prestasi untuk hal-hal khusus.
Misalnya jual-beli, sewa-menyewa, dll.
Sumber:
Subekti,
R. 2002. Pokok-pokok Hukum Perdata.
Jakarta : Internusa. Cet. XXX.
Tutik,
Titik T. 2006. Pengantar Ilmu Hukum.
Jakarta : Prestasi Pustaka. Cet. I.
Tutik, Titik T. 2008. Hukum Perdata dalam Sistem Hukum Nasional. Jakarta: Kencana. Cet. I.
www. Wikipedia/hukum