MEREKA MENGHILANG???
Tak ada kecurigaan sama sekali dalam
pemikiranku ketika Bima memintaku untuk pergi bersamanya saat pulang sekolah
nanti. Itu sudah biasa bagiku. Bukanya bermaksud untuk mengatakan aku adalah
anak yang liar. Bima tak akan berani mengajakku berpergian jika tak ada
persetujuan dari kak Landy. Dia tipe kakak yang super protektif.
Dulu pernah aku terlambat pulang sekolah karna
mengantarkan temanku yang pingsan ke rumahnya. Setibanya di rumah, bagaikan rel
kereta api yang tak diketahui ujungnya pertanyaan demi pertanyaan mengampiriku
tanpa henti. Sesudah kejadian itu dia selalu menungguiku di depan gerbang
sekolah. Haha, konyol bukan?? Tapi aku senang, jarang ada kakak yang
seprotektif itu.
***
“Maaf membuat kakak lama menunggu, ada
materi tambahan untuk belajar kelompok tadi” sapaku yang tampaknya
mengagetkannya. Tadinya dia tengah bersender di samping motornya. Dan sudah
barang pasti aku telah mengusiknya. Aku menyesal telah mengagetkannya. “aku
masih baru aja di sini, ayo!” ajaknya memberi isyarat agar aku segera menaiki
motornya itu. Tak seperti biasanya, kali ini dia tampak begitu terburu-buru.
Apa yang akan dia fikirkan.
Kami berhenti disebuah rumah sakit.
Siapa yang sakit? Perlahan kami melangkahkan kaki menuju sebuah kamar yang
sederhana. Kamar itu terlihat biasa saja. Terdiri dari dua tempat tidur. Yang
satu kosong, sedangkan satunya lagi ditempati oleh seorang gadis kecil yang
mungil kira-kira 3 tahun diatas Lia. Di sampingnya seorang wanita setengah baya
tengah menungguinya. Siapa mereka? Apa hubunganya dengan bisma? Apa tujuan dia
membawaku kesini.
“Itu ibu aku. Dan yang di atas ranjang
itu adik aku” aku makin bingung bukankan dia tak mempunyai saudara perempuan?
Atau aku yang memang kurang memahaminya. Sepertinya dia agak geli dengan pola
tingkahku saat ini. Aku tak tahu harus meresponnya dengan tanggapan yang
seperti apa? Aku hanya tersenyum dan menhampiri dua orang yang sudah pasti
berharga bagi Bima ini. Menyapa hangat wanita setengah baya ini. Wanita yang
sangat ramah dan lembut menurutku.
Terlihat ada pergerakan dari gadis
mungil ini. Kulontarkan senyum termanis yang kumiliki ke arah gadis mungil ini.
“Kak!,” itulah kata pertama yang keluar dari mulutnya dengan suaranya yang
parau. Seakan mengerti Bima langsung mengelurkan dompetnya dan meyerahkannya
kepada gadis mungil itu. Sejenak gadis mungil ini menunjukkan sebuah foto yang
adan di dalamnya. Aku kembali tersenyum dangan wajah yang memerah. Darimana
Bima mendapatkan foto itu. Foto saat aku masih kelas 2 SMP.
“Sebenarnya aku sudah tau kamu sudah
dari dulu,” ucapnya seranya memandang adiknya yang tengah tersenyum mengamati
foto itu. “Nama aku Anggi, adek kak Bima. Kak Tya udah berapa lama dengan kak
Bima?” tanyanya ingin tau. Aku sedikit terbelalak dengan pertanyaanya. Apa maksudnya
berapa lama dengan Bima? Aku makin kikuk saat ibu Bima yang terlihat begitu menanti
jawaban dariku. Pasti mereka sudah mengetahui kedekatanku dengannya. Kembali
aku senyum karna sudah kikuk, aku takut salah tingkah. “aku setuju kok kalo
kakak jadi kakak aku” katanya lagi. Bima langsung menhampiri adiknya itu lalu
mengacak poninya.
“Jangan gitu atuh dek, teh Tya jadi
salah tingkah kamu buat” kali ini wanita paruh baya yg di sebut ibu oleh Bima yang
menjawab. Terasa wajahku memanas, sudah bisa dipastikan wajahku sudah seperti
kepiting rebus.
“Bima itu anak yang baik, setelah kita
ayahnya meninggal dia yang jadi tulang punggung keluarga. Dan ibu juga
bersyukur walaupun dia sibuk kerja, dia juga gak pernah lupa sama keluarga,
prestasinya juga gak jelek-jelek amat.” Tampaknya wanita paruh baya ini sangat
bangga pada anak sulungnya ini. Terlihat jelas dari mimik wajah dan matanya
yang berbinar saat berkisah. “Yah memang dia anaknya rada usil” lanjutnya lagi
yang pada akhirnya direspon dengan garukan kepala Bima yang salah tingkah. Malu
mungkin.
***
“Udah sore buk, Tya pamit pulang ya.”
Kucium punggung tangan ibu ini tak berapa lama dia mengecup hangat keningku.
Senyunya mengembang. “Hati-hati ya.” Itulah pesannya sebelum aku beranjak ke
ranjang Anggi. Hatiku iba saat mengetahui apa yang sebenarnya terjadi padanya. Bagaimana
mungkin anak umur 10 tahun ini harus berjuang melawan kanker hati yang sudah bisa dibilang parah ini. Tapi senyumnya yang
mengembang sekilas tak mencerminkan rasa sakit yang dideritanya.
“Teteh pulang ya. Itu buahnya di
makan.” Kataku mengacak poninya
“Sering-sering datang ya teh” katanya
dengan suranya yang rada parau.
Waktu terus berlalu, keakraban itu
semakin menjadi. Terkadang aku juga sering menginap jika merasa bosan di rumah.
Toh siapa yang akan mencariku kalaupun aku tak pulang. Semua hanya sibuk dengan
kegalauan masing-masing. Papa masih tetap begitu saja, bahkan kemarin saja
sudah terjadi partengkaranku dengannya. Lalu siapa yang membelaku. Mama tak
dapat berbuat apa-apa, dia hanya melihatnya dengan isak tangisnya. Kalu papa
mengamuk, mamalah stay untuk diam. Sebaliknya jika mama mengamuk, papalah yang
stay unuk diam. Belum lagi Lia yang kini
tumbuh menjadi anak yang nakal. Selalu saja ada ulahnya di sekolah, Kak
landry?? Sudah seminggu ini dia terus pulang larut malam. Keluarga seperti apa
ini.
“dua hari lagi aku bersama Ibu dan
Anggi akan pergi untuk pengobatan Anggi. Katanya disana Anggi bisa disembukan.”
Aku terkejut dengan keputusan ini. ia berusah menjelaskan kepadaku, tapi
tampaknya aku masih belum mau untuk melepasnya. Karna menurutku itu tempat yang
jauh. “Kamu tenang aja, aku bakal balik ke sini lagi kok” katanya sambil
mengusap-usap puncak kepalaku.
***
Tak terasa setengah tahun pun berlalu
dengan cepatnya. Awalnya Bima selalu memberi kabar padaku, tentang adiknya yang
menggemaskan, ibunya yang selalu menanyakan kabarku, dan tentunya tentang
kehidupannya di sana. Saat mendegar celotehan lucu adiknya serasa aku dekat
dengan mereka. Tapi sejak 2 minggu yang lalu kabar itu seakan hilang entah kemana.
Perasaan khawatir ada, tapi aku selalu berfikir positif. Mungkin saja dia lagi
disibukkan, karna berita terakhir yang kudapat darinya, ia memutuskan ntuk
melanjutkan kuliahnya di sana.
Tak terasa sudah pukul 2 pagi. Tapi
entah mengapa perasaanku begitu gelisah saat ini. Oh ya, dari tadi aku belum mendengar
suara mobil papa. Kenapa sampai selarut ini papa belum pulang? Memang biasanya
juga sampai larut malam, tapi tak sampai dini hari begini. Apa aku yang tak
mendengar. Ah, sudahlah. Lebih baik aku tidur.
***
Pagi ini lebih cerah dari pagi-pagi yang
telah lewat. Kulangkahkan kaki ini dengan semangat menuju tempatku menimba
ilmu. Rumah keduaku setelah rumah yang aku tinggali bersama keluargaku. Rumah di
mana aku dilahirkan dan di besarkan.