Minggu, 02 September 2012

Akhir sebuah perjalanan #5


MEREKA MENGHILANG???

         Tak ada kecurigaan sama sekali dalam pemikiranku ketika Bima memintaku untuk pergi bersamanya saat pulang sekolah nanti. Itu sudah biasa bagiku. Bukanya bermaksud untuk mengatakan aku adalah anak yang liar. Bima tak akan berani mengajakku berpergian jika tak ada persetujuan dari kak Landy. Dia tipe kakak yang super protektif.
       Dulu pernah aku terlambat pulang sekolah karna mengantarkan temanku yang pingsan ke rumahnya. Setibanya di rumah, bagaikan rel kereta api yang tak diketahui ujungnya pertanyaan demi pertanyaan mengampiriku tanpa henti. Sesudah kejadian itu dia selalu menungguiku di depan gerbang sekolah. Haha, konyol bukan?? Tapi aku senang, jarang ada kakak yang seprotektif itu.
  
***

       “Maaf membuat kakak lama menunggu, ada materi tambahan untuk belajar kelompok tadi” sapaku yang tampaknya mengagetkannya. Tadinya dia tengah bersender di samping motornya. Dan sudah barang pasti aku telah mengusiknya. Aku menyesal telah mengagetkannya. “aku masih baru aja di sini, ayo!” ajaknya memberi isyarat agar aku segera menaiki motornya itu. Tak seperti biasanya, kali ini dia tampak begitu terburu-buru. Apa yang akan dia fikirkan.
        Kami berhenti disebuah rumah sakit. Siapa yang sakit? Perlahan kami melangkahkan kaki menuju sebuah kamar yang sederhana. Kamar itu terlihat biasa saja. Terdiri dari dua tempat tidur. Yang satu kosong, sedangkan satunya lagi ditempati oleh seorang gadis kecil yang mungil kira-kira 3 tahun diatas Lia. Di sampingnya seorang wanita setengah baya tengah menungguinya. Siapa mereka? Apa hubunganya dengan bisma? Apa tujuan dia membawaku kesini.
        “Itu ibu aku. Dan yang di atas ranjang itu adik aku” aku makin bingung bukankan dia tak mempunyai saudara perempuan? Atau aku yang memang kurang memahaminya. Sepertinya dia agak geli dengan pola tingkahku saat ini. Aku tak tahu harus meresponnya dengan tanggapan yang seperti apa? Aku hanya tersenyum dan menhampiri dua orang yang sudah pasti berharga bagi Bima ini. Menyapa hangat wanita setengah baya ini. Wanita yang sangat ramah dan lembut menurutku.
         Terlihat ada pergerakan dari gadis mungil ini. Kulontarkan senyum termanis yang kumiliki ke arah gadis mungil ini. “Kak!,” itulah kata pertama yang keluar dari mulutnya dengan suaranya yang parau. Seakan mengerti Bima langsung mengelurkan dompetnya dan meyerahkannya kepada gadis mungil itu. Sejenak gadis mungil ini menunjukkan sebuah foto yang adan di dalamnya. Aku kembali tersenyum dangan wajah yang memerah. Darimana Bima mendapatkan foto itu. Foto saat aku masih kelas 2 SMP.
          “Sebenarnya aku sudah tau kamu sudah dari dulu,” ucapnya seranya memandang adiknya yang tengah tersenyum mengamati foto itu. “Nama aku Anggi, adek kak Bima. Kak Tya udah berapa lama dengan kak Bima?” tanyanya ingin tau. Aku sedikit terbelalak dengan pertanyaanya. Apa maksudnya berapa lama dengan Bima? Aku makin kikuk saat ibu Bima yang terlihat begitu menanti jawaban dariku. Pasti mereka sudah mengetahui kedekatanku dengannya. Kembali aku senyum karna sudah kikuk, aku takut salah tingkah. “aku setuju kok kalo kakak jadi kakak aku” katanya lagi. Bima langsung menhampiri adiknya itu lalu mengacak poninya.
          “Jangan gitu atuh dek, teh Tya jadi salah tingkah kamu buat” kali ini wanita paruh baya yg di sebut ibu oleh Bima yang menjawab. Terasa wajahku memanas, sudah bisa dipastikan wajahku sudah seperti kepiting rebus.
        “Bima itu anak yang baik, setelah kita ayahnya meninggal dia yang jadi tulang punggung keluarga. Dan ibu juga bersyukur walaupun dia sibuk kerja, dia juga gak pernah lupa sama keluarga, prestasinya juga gak jelek-jelek amat.” Tampaknya wanita paruh baya ini sangat bangga pada anak sulungnya ini. Terlihat jelas dari mimik wajah dan matanya yang berbinar saat berkisah. “Yah memang dia anaknya rada usil” lanjutnya lagi yang pada akhirnya direspon dengan garukan kepala Bima yang salah tingkah. Malu mungkin.
        
***

        “Udah sore buk, Tya pamit pulang ya.” Kucium punggung tangan ibu ini tak berapa lama dia mengecup hangat keningku. Senyunya mengembang. “Hati-hati ya.” Itulah pesannya sebelum aku beranjak ke ranjang Anggi. Hatiku iba saat mengetahui apa yang sebenarnya terjadi padanya. Bagaimana mungkin anak umur 10 tahun ini harus berjuang melawan kanker hati yang sudah bisa dibilang parah ini. Tapi senyumnya yang mengembang sekilas tak mencerminkan rasa sakit yang dideritanya.
          “Teteh pulang ya. Itu buahnya di makan.” Kataku mengacak poninya
          “Sering-sering datang ya teh” katanya dengan suranya yang rada parau.
          Waktu terus berlalu, keakraban itu semakin menjadi. Terkadang aku juga sering menginap jika merasa bosan di rumah. Toh siapa yang akan mencariku kalaupun aku tak pulang. Semua hanya sibuk dengan kegalauan masing-masing. Papa masih tetap begitu saja, bahkan kemarin saja sudah terjadi partengkaranku dengannya. Lalu siapa yang membelaku. Mama tak dapat berbuat apa-apa, dia hanya melihatnya dengan isak tangisnya. Kalu papa mengamuk, mamalah stay untuk diam. Sebaliknya jika mama mengamuk, papalah yang stay unuk diam.  Belum lagi Lia yang kini tumbuh menjadi anak yang nakal. Selalu saja ada ulahnya di sekolah, Kak landry?? Sudah seminggu ini dia terus pulang larut malam. Keluarga seperti apa ini.
         “dua hari lagi aku bersama Ibu dan Anggi akan pergi untuk pengobatan Anggi. Katanya disana Anggi bisa disembukan.” Aku terkejut dengan keputusan ini. ia berusah menjelaskan kepadaku, tapi tampaknya aku masih belum mau untuk melepasnya. Karna menurutku itu tempat yang jauh. “Kamu tenang aja, aku bakal balik ke sini lagi kok” katanya sambil mengusap-usap puncak kepalaku.

***

       Tak terasa setengah tahun pun berlalu dengan cepatnya. Awalnya Bima selalu memberi kabar padaku, tentang adiknya yang menggemaskan, ibunya yang selalu menanyakan kabarku, dan tentunya tentang kehidupannya di sana. Saat mendegar celotehan lucu adiknya serasa aku dekat dengan mereka. Tapi sejak 2 minggu yang lalu kabar itu seakan hilang entah kemana. Perasaan khawatir ada, tapi aku selalu berfikir positif. Mungkin saja dia lagi disibukkan, karna berita terakhir yang kudapat darinya, ia memutuskan ntuk melanjutkan kuliahnya di sana.
        Tak terasa sudah pukul 2 pagi. Tapi entah mengapa perasaanku begitu gelisah saat ini. Oh ya, dari tadi aku belum mendengar suara mobil papa. Kenapa sampai selarut ini papa belum pulang? Memang biasanya juga sampai larut malam, tapi tak sampai dini hari begini. Apa aku yang tak mendengar. Ah, sudahlah. Lebih baik aku tidur.

***

   Pagi ini lebih cerah dari pagi-pagi yang telah lewat. Kulangkahkan kaki ini dengan semangat menuju tempatku menimba ilmu. Rumah keduaku setelah rumah yang aku tinggali bersama keluargaku. Rumah di mana aku dilahirkan dan di besarkan.