Minggu, 22 Juli 2012

akhir sebuah perjalanan #4


SETELAH KUTAHU SEMUANYA


          Aku melangkahkan kaki ke taman belakang rumah dengan langkah ragu. Malam ini terasa sedikit berbeda. Tak biasanya mama mau duduk sendiri di tempat ini. Mama hanya diam menatap lurus ke depan dengan cairan bening yang mengalair di wajahnya. Sepertinya mama tak menyadari kedatanganku. Aku menempatkan posisiku secara benar agar tak mengganggu tenetangannya malam ini. mama menoleh sedikit dengan seberkas senyum di bibirnya. Walau kutahu senyum itu dipaksakan.
       “Tak biasanya mama ke sini?” tanyaku lembut, mama kembali tersenyum lalu kembali menatap lurus kedepan. Dia membelai rambutku yang bergelombang. Menarik kepalaku untuk bersandar di bahunya. Tak selang beberapa lama butiran bening itu kembali mentes. Mama yang terlihat begitu tegar dihadapan kami akhirnya menampakkan kelemahannya. Tak ada kalimat yang terlontar dari mulutnya.
         Aku mencoba untuk memenangkannya. Sejenak mama menghentikan tangisnya lalu berhambur memelukku. Tangisnya kali ini lebih deras dari tangisan yang sebelumnya. Hati ini semakin pilu mendengarnya. Tak biasanya terlihat sedih seperti ini. yah, persoalan ini memang begitu berat. Kuputuskan untuk mengajak mama masuh ke dalam rumah. Angin malam tak baik untuk kesehatannya.
         “Jangan terlalu di fikirkan ma, semuanya pasti ada jalan keluarnya” setelah aku ucapkan itu, mama hanya tersenyum dan membelai wajahku. Air matanya keluar lagi. Apa mama tak bosan? Hmm, keadaan ini pasti akan berakhir, tapi kapan? Dan sekarang aku bagaikan seseorang lemah di tengah gurun pasir yang menantikan datangnya hujan. Sangat kecil kemungkinan terjadinya. Dan sekarang aku malah mengetawai kekonyolanku.
          Beberapa minggu yang lalu aku sempat memergoki papa termenung sendiri dengan sebatang rokok di sela-sela jarinya. Setahuku papa bukan tipe pria perokok. Kalaupun beliau merokok pasti masalah yang dihadapi cukup besar. Papa juga sempat mencurahkan sedikit isi hatinya, sangat bertolak belakang dengan yang kurasakan sekarang. Sepertinya mereka saling tertekan akan kekerasan hati yang mereka pelihara sendiri.


***

          Aku ingat dulu nenek pernah bercerita padaku saat pertama papa dan mama bertemu. Papa begitu sangat penasaran dengan mama, mama begitu pendiam. Mama tau akan hal itu lantas semakin membuat papa penasaran dengannya. Setiap pulang sekolah papa selalu menunggu mama di depan gerbang sekolah. Saat itu mama masih kelas 3 SMP sedangkan papa sudah kelas 3 SMA. Sekolah mereka hanya berjarak 250 m. Berulang kali papa  berbuat ulah untuk menarik perhatian mama, tapi diabaikan begitu saja. Kasihan papa. Tapi akhirnya manis juga, mama menerima papa walaupun kala itu masih setengah hati.
         Bila kutarik pada diriku, sepertinya sangat mirip dengan yang kualami. Aku masih begitu penasaran dengan siswa lelaki itu. Tapi akankan berakhir seperti ini juga bila aku telah mengenalnya dengan baik atau bahkan jika kami.. Ah~ apa-apaan kau Tya. Fikiranmu terlalu jauh untuk memikirkan hal itu. Kau terlalu banyak berhayal. Setiap orang sudah pasti memiliki takdirnya masing-masing. Mungkin saja setelah ini aku takkan bertemu lagi dengannya.  Tapi bagaimana aku berfikir begitu, sedangkan besok aku akan menemuinya.
        Kuraih sebuah buku yang tidak begitu debal. Kutulis sejuta ungkapan dari dalam hati ini. Aku beharap besok akan menemukan pengalaman baru lagi. Kututup kembali buku itu dan menyimpanya ketempat yang kurasa aman.
.      
***

      Hari ini aku akan menemuainya, aku harap akan bisa mengetahui siapa jati dirinya. Kak Landry tampaknya sudah sangat siap mengantarkanku, bahkan dia sepertinya yang lebih antusias. Adikku yang munggil ini kini masih bergelayut di pangkuanku. Dia tak ingin lepas dan ditinggal, jika kubawa aku takut dia keberatan akan keberadaan gadis mungil ini. Beribu alasan kuberi tapi adik mungil ini tetap tak ingin ditinggal.
      Akhirnya kuputuskan untuk membawanya. Kasihan juga kalau ditinggal. Mama sibuk kami. Mereka sangat disibukkan dengan kegiatan masing-masing. Mama sibuk dengan kegiatannya guna melupakan perlakuan papa yang semakin semena-mena. Papa entah apa yang ia kerjakan tapi kelihatannya sudah sangat sering pulang malam, pagipun jarang bertemu.
    
***

       Dari kejauhan tampak seorang lelaki duduk membelakangiku, apa dia orang mengirim surat itu? Dengan langkah yang perlahan kuhampiri dia. Tampaknta tak menyadari keberadaanku. Dia masih asik menikmati alunan musik yang tersalur dari ear phone nya. Sesekali juga dia bernyanyi. Adikku yang tadinya rewel sontak tersenyum melihat orang itu. Mungkin dia mengenalinya. Anak manis ini langsung menghampirinya
        “kakak behel” katanya dengan suara kas anak kecil yang dimilikinya.
        “eh ada lili, sama siapa ke sini?” dia bertanya pada adikku. Apa yang dilakukannya, apa dia tak menyadari keberadaanku. Aku hanya mendengus kesal dengan hal ini. Seperti tanpa disa dia malah tertawa dan berbalik arah. Jantung ini serasa berdegup lebih kencang saat melihat wajahnya. Rupanya dia sangat serius akan perkataannya. Dan, kemana kakakku yang sedari tadi membuntutiku. Dari jauh kulihat dia membawa nampan yang berisi beberapa gelas minuman dan snack kecil.
        “kalian udah saling kenalkan? Jadi sepertinya tidak perlu lagi aku yang turun tangan.” Kakakku sepertinya sudah mengetahui semuanya. Apa lagi ini
        
***

         Hari ini orang yang selama ini  selalu saja menghantuiku,, ehh~ lebih tepatnya Bima mengantarkanku ke sekolah. Bila dihitung dengan satuan waktu memang tak butuh waktu lama untuk memunculkan keakraban diantara kami. Dia orangnya ramah, lucu, pengertian dan dia sosok pribadi yang sangat tahu begaimana harus memperlakukan seorang wanita sepertiku. Mungkin karna dia tak mempunyai adik tau kakak perempuan.
       “sepulang sekolah nanti kau ada waktu?” tanyanya disela-sela keheningan yang terjadi selama dalam perjalanan. “ada yang ingin kusampaikan padamu, dan ini penting” lanjutnya lagi. Tampakknya dia serius.
       “kebetulan hari ini temanku mengajakku untuk menemaninya mencari buku. Emm~ sepertinya...” kutarik nafasku sejenak untuk memutuskan semuanya “ok! Aku bisa” lanjutku
        “akan aku tunggu kamu disini sepulang sekolah” katanya lalu perlahan menghilang dari pandanganku. Aku pun segera bergegas menuju ruanganku. Diasana terlihat pemandangan yang sudah sangat bisa untuk kalangan siswa. Teman-teman sekelas sedang sibuk mengerjakan pekerjaan ruman mereka yang tak selesai bahkan belum di kerjakan sama sekali. Bak seorang putri dari sebuah kerajaan mereka menyambutku berharap sebuah buku tulis berisikan 30 lembar bersampul coklat milikku. Didalamnya ditentukan nasib mereka sesudah istirahat pertama nanti.